Wednesday, February 25, 2009

Partnership of Faiths

Terima kasih Imam Syamsi atas artikelnya ini.

Saya sering merasa pentingnya Muslim communities mengetahui bagaimana caranya menghadapi perbedaan baik internally maupun externally, serta bagaimana menghandle perbedaan (e.g. conflict management, resolution). Mungkin Islamic centers ada bagusnya bisa mengadakan workshop mengenai hal ini.

Tidak sedikit saya jumpai adanya orang2 Islam yg memulai perpecahan/konflik hanya karena masalah2 kecil saja. Misalnya ketika datang Muslim scholars, ada saja orang2 yg tidak mau mendengar lecture mereka hanya karena "bagian bawah celana beliau melebihi batas mata kaki beliau", atau "beardnya not long enough to fit a fist", dlsb.

IMHO, it's their lost for not wanting to get benefit of the knowledge of these scholars because of their fancy "perfection".



-------------


Partnership of Faiths
M. Syamsi Ali

Siang tadi, Partnership of Faith in New York City melangsungkan pertemuan makan siang tahunan (annual luncheon meeting) di sebuah restoran exclusive di kota New York. Selain sebagai acara tahunan, yang entah kenapa dilakukan setiap Pebruari, juga sebagai acara perpisahan dengan salah seorang anggota dan pendiri dari oragnisasi tersebut, Pastor Arthur Caliandro, mantan Senior Pastor gereja Collegiate Marble. Rev. Caliandro adalah Co-Chair dan salah seorang pendiri organisasi bergengsi ini sekitar 35 tahun silam.

Didirikan sekitar 35 tahun lalu, Partnership of Faiths merupakan sebuah organisasi yang menghimpun pemimpin-pemimpin senior dan berpengaruh agama di kota New York, atau tepaptnya di jantung kota New York yang dikenal dengan Manhattan. Saya katakan senior karena memang hanya saya seorang anggotanya yang berumur di bawah 60 tahun. Mayoritas berumur di atas 70 tahunan. Berpengaruh karena suara mereka sangat didengar para pembesar kota New York.

Saya masih ingat, sekitar setahun lalu, terjadi penembakan polisi terhadap warga hitam di salah satu bagian kota New YorkJamaica Queens. Serentak saja disepakati untuk memanggil Kepala Kepolisian Kota New York (Police Commissioner), Raymond Kelly. Raymond Kelly tidak saja hadir dan menyampaikan posisinya dalam penembakan tersebut, tapi juga menjadi bulan-bulanan pertanyaan yang barangkali belum pernah dia bayangkan sebelumnya. Sampai-sampai, walau saya sudah beberapa kali bertemu dengannya sebelumnya, Mr. Kelly seperti seorang anak yang dimarahi oleh orang tuanya.

Beberapa bulan lalu, ketika Walikota New York, Michel Bloomberg, walau menurut undang-undang hanya dua kali, memutuskan untuk mencalonkan diri untuk ketiga kalinya, Partnership of Faiths mengundangnya dan menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan yang rata-rata Mr. Bloomberg hanya menjawab: “I am promising to get back to you on this…”.

Saya sendiri diminta jadi anggota organisasi ini sekitar tiga tahun lalu, ketika kenyataannya saya masih Deputy Imam di Islamic Cultural Center of New York. Hingga saat ini saya masih mempertanyakan, kenapa justeru bukan Head Imam yang diminta, malah wakilnya yang diminta duduk mewakili Islamic Center. Lebih heran lagi, dari 35 anggotanya, hanya ada 3 Imam yang diikutkan atau tepatnya ikut.

Belajar Menghargai

Sekitar tiga tahun lalu, saya mendapat telpon dari seorang pastor dari gereja Marble Collegiate di Manhattan. Beliau ingin menemui saya karena ingin mengajak saya terlibat dalam acara dialog tiga agama (Kristen, Yahudi dan Islam) pada hari Tahnksgiving di bulan Nopember tahun itu. Sayangnya, ketika saya meng-iyakan untuk bertemu dengannya, saya lupa mencatat di catatan jadwal harian. Maka, pada hari beliau ke Islamic Center menemui saya, saya ternyata tidak ada di tempat.

Bagi orang Amerika, ini merupakan ketidak becusan yang luar biasa. Bahkan mungkin bisa dikategorikan sebagai ‘pengkhianatan’ kecil. Saya tahu betapa orang Amerika menghormati waktu dan janji. Beliau kembali dengan tangan kosong dan hanya meninggalkan kartu nama dan pesan agar kiranya saya menelpon beliau. Sayapun merasakan ‘guilty’ (perasaan bersalah) yang besar.

Beliau inilah Rev. Arthur Caliandro yang ketika itu (tiga tahun lalu) berumur 78 tahun. Beliau ke mana-mana naik teksi, dan mengatakan senang naik teksi karena selalu mendapatkan sopir teksi yang ramah dari kalangan Muslim. Ada cerita yang selalu dia ceritakan di mana-mana, termasuk ketika memberikan ceramah ke jama’ahnya di gerejanya yang terletak di 29th Street and 5th Avenue.

Bahwa suatu ketika, beliau ingin melakukan pertemuan di bagian atas kota Manhattan (up town). Beliau mengambil teksi kuning (yellow cab) menuju ke tempat pertemuan. Di tengah jalan, dia bertanya kepada sopir teksi itu: “Di mana anda pergi untuk sholat?”. Sang sopir menjawab: “biasanya di mana saja ada masjid di saat waktu sholat telah tiba”. Tapi menurutnya, tiba-tiba sang sopir itu menengok ke belakang dan memberikan sebuah pisang.

I was surprised! This must not be an American way”, katanya. Tidak mungkin seorang Amerika akan memberikan sesuatu, seperti pisang, kepada seseorang yang asing dan apalagi justeru dia yang mengharap diberi lebih.

I thanked him, telling him that I am leaving it for your own lunch”, candanya.

Pada saat hampir tiba di tempat pertemuan, beliau bertanya: “Where are you going for Friday service (Shalat Jumat)?” Sang sopir itu menjawab: “In the basement of the 29th Street and Fifth Avenue, masjid Abdurrahman”. Arthur spontan menjawab bahwa dirinya adalah pastor gereja yang memiliki gedung tersebut. 

Masjid Abdurrahman adalah masjid yang selalu penuh pada hari Jum'at, dan bahkan melakukan Jum'atan dua kali karena tempatnya tidak mencukupi. Masjid ini menyewa gedung dengan harga yang sangat murah dari gedung gereja Marble tersebut. Kebtulan saya beberapa kali menjadi Khutba, walau belum pernah saya sampaikan ke Arthur. 

Sang sopir hampir tidak percaya, karena telah bertahun-tahun shalat di gedung itu secara nyaman dan kini bertemu dengan tuan gedung itu. Arthur melanjutkan: “Suddenly he stopped the taxi and shut of the meter. When I gave him the money he strongly rejected it, got down from his taxi and opened the door for me”. Arthur melanjutkan "When I gave him the money..he did not want to take it. He rejected it strongly..But finally I convinced him to take as a gift from mr for his chidlren". 

“I have never imagined before any taxi driver nicer than this”, katanya.

Cerita ini kembali diulangi oleh Arthur dalam acara Trialogue di hari Thanksgiving bulan Nopember lalu. Kontan saja para hadirin tertawa mendengar cerita Arthur yang menarik itu. Saya pada saat itu juga ikut tertawa. Tapi dalam hati sanubari saya berucap: “Alhamdulillah, ternyata terkadang sesuatu yang kecil yang kita lakukan tanpa disadari memberikan dampak positif yang besar bagi upaya mengoreksi kesalah pahaman banyak orang tentang agama ini.

Kembali ke Partnership. Banyak yang saya pribadi ambil sebagai pelajaran. Tapi salah satu dari pelajaran itu adalah bagaimana anggota-anggota organisasi ini, yang sangat diverse; Yahudi dengan segala denominasi, Kristen dengan segala denominasi, Katolik, Episcopalian, dan Muslim (ketiga Imam adalah Sunni). Tidak saja beragam secara denominasi tapi di dalam satu denominasi juga terjadi perbedaan pendapat yang terkadang cukup tajam. Mungkin bisa dikatakan, ada yuang konservatif dan ada yang liberal. Namun yang pasti, setelah selesai dilakukan diskusi-diskusi secara intens, pada akhirnya kembali merasa tidak ada apa-apa yang pernah terjadi.

Saya masih teringat, sekitar 8 bulan lalu, di saat para kandidat presiden sibuk mendiskusikan berbagai posisi mereka dalam banyak hal, termasuk dalam hal-hal yang secara agama bersentuhan. Misalnya eborsi, pemisahan negara dan agama, hukum mati, dan bahkan sempat didiskusikan secara panas bagaimana menyikapi berkebangnya kecenderung legalisasi ‘perkawinan sejenis’.

Kontan Muslim, Orthodox Jews dan Katolik, maupun beberapa aliran di kalangan Kristen menentang dengan keras perkawinan sejenis. Bagi kami Muslims, tidak ada jalan kompromi. Bahkan jika perlu, operasi kelamin dibolehkan jika memang secara fisik genetic harus dilakukan. Sementara kalangan Kristen protestan, Episcopalian dan Jewish Reform melihatnya sebagai bagian dari ‘human rights’ dan ‘freedom of choice’.

Saya masih ingat bagaimana seorang Rabbi Orthodox dan seorang Rabbi Reform bersitegang dengan menggunakan dalil dan basis yang sama, tapi masing-masing memiliki argumentasi yang berbeda. Demikianpula di kalangan pendeta Kristiani dengan segala denominasinya.

Poin saya di sini bukan memotivasi poerbedaan pendapat mengenai ‘perkawinan sejenis’ di kalangan umat Islam, tapi lebih kepada bagaimana menyikapi perbedaan, walau itu terkadang dianggap sangat fundamental. Mungkin pada akhirnya, kalau saja dengan selain sesame pemeluk agama umat ini punya ajaran “lakunm dinukum wa liya diin”, lalu kenapa dengan sesama pemeluk Islam kita tidka berani mengatakan “Kullukum mas’uulun an ra’iyyatih” (termasuk gembalaan opini kita sendiri) di hari Akhirat nanti.

Kalau sikap ini mampu kita bangun, maka akan banyak agenda lain yang dapat menyatukan dan dikerjkan bersama bisa diselesaikan. Agenda ekonomi umat yang masih berat, kemiskinan dan kelaparan. Agenda pendidikan yang berat dengan kebodohan yang masih menyelimuti umat. Agenda politik yang masih runyam dengan masih mengakarnya sistim ‘diktatorship’ di berbagai negara-negara mayoritas Muslim. Agenda sosial yang masih semrawut dengan ketidak disiplinan umat, termasuk dalam waktu, dan seterusnya.

Kalau kita bisa menyadari ini, tentu kita tidak akan lebih bisa bersalaman dengan orang-orang Kristen ketimbang dengan saudara-saudara kita dari kalangan Syiah. Demikian tentunya sebaliknya, teman-teman Syiah tidak lebih senang berjabat tangan dengan komunis ketimbang sudara-saudaranya dari kalangan sunni.

Ah..kenyataan berbicara lain. Di berbagai belahan dunia Islam saat ini, terkadang menyambung relasi dengan manusia beda agama lebih ‘comfortable’ ketimbang dengan manusia sesama iman. Kenapa ya? Mungkin justeru kita harus belajar bagaimana orang lain berbeda pendapat dan mengelolah perbedaan itu dalam rangkaian kepentingan bersama.

Mungkin masanya kita belajar penafsiran makna ‘satu tubuh’ dari praktek-praktek orang lain. Berbeda dan masing-masing punya posisi dan peranannya, karena itu adalah kodratnya. Tapi perbedaan anggoto tubuh yang satu ini mampu diorganisir sehingga melahirkan pergerakan yang harmonis, seirama, walau kenyataannya berbeda dalam wujud dan peranan. (Bersambung!)

New York, 24 Pebruari 2009

No comments: