Friday, July 01, 2005

Anak muda dan kerangka berpikir


Dalam era globalisasi modern seperti zaman sekarang ini di mana internet bisa diakses oleh siapa saja dari berbagai penjuru dunia, banyak anak muda yang terekspos dengan berbagai pemikiran dan pandangan hidup yang berbeda2.

Dampaknya di era globalisasi ini, banyak anak2 muda yang kritis terhadap agama mereka sendiri. Mereka tidak segan2 mempertanyakan keimanan dan aturan2 dalam agama yang mungkin tidak pernah ditanyakan oleh generasi2 sebelum mereka.

Sayangnya pelajaran agama yg mereka dapati di sekolah tampak tidak begitu menanggapi masalah ini. Berdasarkan pengalaman sejak SD sampai SMA dahulu, pelajaran2 agama di sekolah lebih bersifat kepada doktrin dan sangat sedikit (kalau bisa dibilang ada) yang membahas kerangka berpikir dalam menyikapi pertanyaan2 terhadap masalah keimanan dan aturan2 agama.

Semasa kuliah dulu, ketika tinggal dengan beberapa roomates non-Muslims, saya dihadapkan kepada banyak pertanyaan2 yang tidak pernah saya dapatkan sebelumnya. Roomates saya dulu ada yang atheist (tidak percaya adanya Tuhan), ada yang agnostic (tidak peduli ada tidaknya Tuhan, tidak perlu beragama yang penting berbuat baik), dan ada pula yang berbeda agama dan keyakinan (Christians).

Misalnya pertanyaan dari atheist ("Why do you believe in God that cannot be seen?", "Why do you believe in a God that creates evil in the world?", "How can a Loving God send people to Hell and torture them forever?"), dari agnostic ("Why are you so sure that God sent down His revelation to us on this small earth in this vast universe?", "Isn't it possible God of all religions infact an alien from outer space with much more advanced technology than us who wants to control over us?"), maupun dari yang beda agama ("Why are you guys not so sure about going to heaven like us who accept Jesus died for our sin?", "Why do you believe in the Arabian Prophet who came 600 years later after Jesus?"). Dan masih banyak lagi pertanyaan2 mengenai Tuhan dan kenabian lainnya.

Pertanyaan2 lainnya berhubungan dengan masalah ibadah dan aturan2 beragama diamati mereka ("Why do you have to wash/ablution repeatedly 3-3 times?", "Why do you have to pray 5 times a day?", "Why do your women have to wear hijab in hot summer days? Will they go to hell if they take their hijab off?", "Why do you have to face and worship Ka'bah, the black cube?", "Why do you have to say your prayer in Arabic, does your God only know Arabic?", "Why do you have to suffer fasting in Ramadan not eating or drinking for many hours?", "Why does God punish people just for drawing animals and humans?", "Why are angels scared of dogs?"). Dan masih banyak lainnya.

Belum lagi kalau ada peristiwa2 yang terjadi di Middle East yang diberitakan di media massa... "Look, Muslims are killing innocent people again!", "Are Muslims not allowed to live peacefully with people of other faith?", "Aren't you somewhat embarrassed to profess this faith that has spilled so much blood in its history?", etc.

Mungkin pertanyaan2 atau komentar2 seperti di atas tidak pernah terdengar di tanah air yang mayoritas penduduknya Muslims, sehingga tidak ada atau masih sedikit usaha dari para ustadz atau pihak pengajar agama untuk menanggapinya. Mungkin menurut banyak da'i di Indonesia, buat apa buang2 waktu menjawab pertanyaan2 yang aneh2 macam itu, masih banyak urusan umat yang real, yang harus diperbaiki. Para da'i seharusnya sadar akan realitas dawah dalam era globalisasi saat ini dan siap menghadapi pertanyaan2 yang mungkin sebelumnya tidak pernah muncul atau tidak berani ditanyakan oleh generasi2 zaman mereka.

Mungkin dulu kita kalau bertanya mengenai banyak hal berkenaan dengan keimanan akan dicap "kafir" oleh ustadz kita, tapi di zaman sekarang, banyak anak2 muda yang tidak mau menerima begitu saja doktrin agama tanpa penjelasan yang masuk akal mereka. Pertanyaan2 macam ini cepat atau lambat akan keluar juga dari anak2 muda di berbagai pelosok di tanah air akibat era globalisasi di mana pertukaran informasi di bumi cepat sekali terjadi dan tidak bisa dihindarkan lagi.

Kalau kurikulum pendidikan agama yang mereka dapati di sekolah tidak mampu menanggapi masalah ini, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi:

1) banyak anak2 muda ini yang menjadi ragu terhadap agama, dan bila keragu2an ini lambat laun menumpuk, mereka tidak segan2 menyatakan diri keluar dari agama atau bahkan mencela agama,

2) anak2 muda ini akan mencari sumber2 informasi dari luar sekolah yang mereka anggap mampu menjawab pertanyaan2 mereka. Informasi dari luar ini mungkin saja dapat memuaskan keingintahuan mereka dalam pemahaman terhadap agama, yang mungkin mengantarkan kepada pemahaman yang benar, tapi mungkin pula kepada pemahaman yang salah yang dapat melahirkan sikap ekstrim dalam beragama, atau sebaliknya mungkin malah membuat mereka tambah ragu, keluar dan memusuhi agama.

Pandangan anak2 muda terhadap agama umumnya dipengaruhi oleh tingkah laku orang2 tua (terutama para ulama atau ustadz) yang mereka anggap merupakan contoh "ideal" dari orang yang paham atau ahli agama. Ketika ada orang tua atau ulama yang melakukan sesuatu yang tidak mereka sukai, image agama orang tsb turut menjadi buruk dalam pandangan mereka. Kekaguman mereka terhadap seorang ustadz misalnya berubah menjadi kebencian (bukan hanya terhadap sang ustadz tapi juga terhadap agamanya) setelah mengetahui "kekurangan" dari ustadz tsb. Karena itu tidak aneh kalau ada anak muda yang KTPnya Islam berkomentar "Ah agama apaan tuh, ngajarinnya cuma kawin melulu!", "Ah orang Islam banyak yang korup!", "Nggak usah capek2 lah belajar agama, tuh lihat orang yang ahli agama aja tingkah lakunya seperti itu!" - ini semua akibat kecewa melihat kelakuan orang2 yang sebelumnya mereka idolakan. Tidak sedikit orang yang menilai suatu agama dari perbuatan pemeluk2nya, one or few people are wrong, blame all.

Bisa jadi juga kekecewaan mereka timbul akibat melihat pertikaian yang tidak kunjung habis antara intern pemeluk agama sendiri, baik perbedaan pandangan dalam masalah aturan agama, atau  banyaknya aliran2 atau sekte2 di dalam agama. Bagi banyak orang mungkin banyaknya paham2 dalam Islam ini membuat mereka bingung, merasa frustrasi dalam memahami dan mengyikapi perbedaan2 yang ada ini. "Islam yang mana?" menjadi pertanyaan yang tidak asing lagi di telinga kita. Tiap2 pandangan yang berbeda sama2 berusaha mendasarkan pandangannya dengan Qur'an maupun hadits Nabi. "Islam warna-warni", "Islam multi-interpretasi", "jangan mengklaim kebenaran sendiri", dll, juga sering terlontar secara apriori tanpa ada usaha melihat dan menganalisa setiap pandangan yang berbeda ini.

Lalu bagaimana mengatasi permasalahan ini?

Masalah ini sebenarnya bersumber dari kesalahan dalam berpikir dan berargumentasi. Ada baiknya kerangka dasar berpikir dan berargumentasi yang benar dipahami oleh setiap Muslim terutama para generasi muda dan para dai, sehingga mereka dapat memahami dan menyikapi dengan baik berbagai pandangan yg berbeda dengan bermacam argument yang banyak ditemui dalam pergolakan pemikiran (ghazwul fikr) berbagai paham, seperti atheism, agnosticism, liberalism, extremism, islamophobic, dlsb.

Sebenarnya para ulama kita sejak dulu dalam membahas masalah2 agama, baik itu dalam hal ushul fiqh, ibadah, aqidah, maupun muamalah, selalu menggunakan metode2 maupun kerangka berpikir yang bisa dijumpai dalam kitab2 mereka. Para Imam seperti Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i, dll,  sering menggunakan argumentasi logis mereka dalam menjawab pertanyaan2 sulit di jamannya. Sayangnya kita amati cara berpikir seperti ini kini sering hilang dalam argument2 orang Islam ketika menyikapi pendapat yang berbeda, sering kali lebih terasa nada emosionalnya daripada bobot argumentnya. Bahkan sebagian orang tanpa berpikir jauh menganggap buruk dan mengharamkan usaha mempelajari kerangka berpikir ini, bahkan menganggapnya metode orang kafir yang tidak dikenal dalam Islam, sehingga tidak sedikit muslim yg dibuat tidak bergairah sehingga hilang kemampuan mereka untuk berpikir dan berargumentasi secara logis.

Kerangka berpikir sebenarnya dibuat untuk menghindari kesalahan2 dalam berargumentasi (biasa disebut "fallacy"). Beberapa contoh fallacy ini antara lain:

1. "Inconsistency": Contohnya si A bilang "Sirah dan hadits tidak bisa dipercaya karena banyak isinya yang tidak masuk akal". Tapi ketika A ditanya dari mana ia tahu adanya seorang Nabi yang bernama Muhammad, atau dari mana ia tahu Qur'an yang ia percayai terjaga kemurniaannya sejak zaman Nabi sampai sekarang, bila si A menjawab dengan basis sirah dan hadith, ini namanya inkonsistensi. Kalau tidak percaya sirah dan hadits, mengapa masih dipakai untuk dasar keimanannya?

Contoh lainnya adalah sikap sebagian orang yang ketika menghujat Nabi SAW dengan leluasa menggunakan cuplikan2 hadits dan sirah sesukanya (Nabi berpoligami, kisah2 dalam peperangan beliau, dlsb). Tapi ketika ditunjukkan hadits dan sirah dari sumber yang sama, yang menunjukkan tanda2 kenabian Nabi seperti mu'jizat2 beliau, mereka berkomentar bahwa hadits dan sirah tidak bisa dipercaya karena dibukukan jauh sesudah Nabi wafat. Kalau tidak bisa dipercaya, mengapa tadi masih dipakai untuk menghujat Nabi?

Contoh lainnya adalah sikap yang membenarkan semua pendapat yang pada kenyataannya jelas2 berbeda. Kalau ada orang yang bilang "Semua interpretasi atau tafsiran agama adalah sah2 saja dan benar adanya karena kebenaran itu relatif sifatnya", maka ia harus bisa konsisten untuk tidak menyalahkan pendapat yang menghalalkan terorisme membunuh orang2 tak berdosa, atau pendapat2 yang menghalalkan sex bebas, incest, dlsb, dengan alasan selama suka sama suka dan tidak merugikan orang tidak ada salahnya. Apakah dua pendapat yang berbeda, yang satu bilang halal, yang lain bilang haram, benar kedua2nya? Kalau kita mau jujur, kita akan mengakui bahwa "logical circuit" dalam otak kita jelas menolaknya.

2. "Incomprehensive": Si A bilang "Orang Islam diajarkan Qur'an ayat 5:51 untuk membenci dan dilarang berteman dengan orang2 non-Muslim." Selain harus memiliki pengetahuan akan makna kata2, context maupun historical perspectives, si A sebelum mengeluarkan penafsirannya akan ayat tsb seharusnya tahu ada ayat2 Al Qur'an lain yang menjelaskan lebih jauh mengenai hal serupa, misalnya 60:8. Pengetahuan yang partial terhadap hal2 ini akan menyebabkan kesalahan dalam mengambil kesimpulan.

3. "Out-of-context": Si A bilang "Dalam Al Qur'an ayat 9:5, orang Islam diperintahkan membunuh orang2 musyrik di mana saja mereka jumpai". Si A seharusnya tahu konteks diturunkannya ayat tsb sebelum mengambil kesimpulan demikian (yaitu peperangan Nabi dengan orang2 kafir Quraisy serta sekutu2 mereka yang memerangi umat Islam saat itu).

4. "Generalization": Ini serupa dengan pepatah "Karena nila setitik rusak susu sebelanga". Si A menuduh Islam sebagai agama teroris karena di antara pemeluk2nya tidak sedikit melakukan aksi terorisme dengan dalih agama. Si A seharusnya tahu bahwa kalau dilihat persentasinya, mayoritas umat Islam adalah umat yang cinta damai dan tetap berpegang teguh pada prinsip2 agama yang jelas2 melarang aksi terorisme. Apakah orang2 di barat rela kalau agamanya dituduh sebagai agama penjajah "gold-glory-gospel" karena perlakuan sebagian kelompok mereka terhadap bangsa2 di dunia?

5. "Double-standard": Si A yang beragama bukan Islam bilang "Islam adalah agama palsu karena Nabinya berpoligami". Padahal kalau dia baca kitan sucinya sendiri, nabi2 dalam agamanya sendiri pun banyak yang berpoligami. Atau si B yang mengutuk pembunuhan orang2 tak bersalah yang pelakunya Muslim sebagai perbuatan terorisme, tapi di lain waktu si B tidak mengutuk pembunuhan serupa yang pelakunya bukan Muslim malah melabelnya sebagai "collateral damage". Dengan menggunakan standard yang sama, pembunuhan orang2 tak bersalah akan selalu dikutuk sebagai tindakan terorisme, tidak peduli siapa korban dan siapa pelakunya.

6. "Straw-man" : menyerang argument yang sudah diubah bentuknya (biasanya dicampur "half-truth" atau "twisted-truth"). Misalnya si A menuduh "Al Qur'an merendahkan status wanita di bawah status laki2". Meskipun dalam Qur'an disebutkan "Laki2 adalah pelindung /pemimpin kaum wanita" ini tidak berarti di dalam Islam status wanita itu lebih rendah dari status laki2 karena masing2 memiliki role/tugas yang berbeda dalam pandangan Allah SWT.

7. "Red-herring" : mengalihkan subject sehingga bukan membahas argument yang tengah didiskusikan, tapi argument lainnya. Misalnya, ketika si A ditanya tentang kontradiksi di dalam kitab suci yang diyakininya, bukannya menjawab pertanyaan tsb, si A malah membawa tuduhan banyaknya kontradiksi di dalam kitab suci orang yang bertanya.

8. "Appeal to authority": Si A bilang ke si B "Argument anda pasti salah karena berlawanan dengan pendapat seorang professor yang ahli dalam bidang ini". Si A sudah men-shut-off the discussion hanya dengan merefer ke authority yang dipercayainya, tanpa menjelaskan argument si professor yang disebutnya tadi.

9. "Ad-hominem" (argument to the man): bukan argumentnya yang dibahas, tapi yang diserang adalah pribadi lawan debat yang tidak berhubungan dengan argument yang didebatkan. Misalnya, "Pendapat si A itu sudah pasti salah karena si A itu tidak pernah sekolah di pesantren", atau "Ah, pendapat si B yang playboy kayak gitu kok dibahas!". Padahal logis tidaknya suatu argument tidak bisa ditentukan dari pribadi orang yang berargument. Dalam beargumentasi, yang harus dilihat adalah argumentnya, jangan diserang orangnya.

Dst.

Kerangka berpikir hanyalah "tool" (framework) yang bisa digunakan dalam proses berpikir kita, yang tidak hanya berhubungan dengan masalah2 agama, tapi juga masalah2 dalam hidup lainnya. Karena hanya general framework untuk proses berpikir, ia bisa dipakai oleh siapa saja. Karena itu sayang kalau ketika berdiskusi dengan orang2 non-Muslim orang2 Islam tidak memahami framework ini. Mungkin dengan mengetahui kerangka dasar dalam berpikir dan berargumentasi macam ini, metode dalam memahami permasalahan dan perbedaan pandangan dalam agama dapat dimengerti, sehingga diskusi2 maupun debat2 dalam memahami agama dapat berjalan dengan baik, dengan menganalisa argument masing2 pihak yang berbeda, tanpa menyerang pribadi, sehingga pertikaian dan perpecahan yang tidak diinginkan bersama bisa dihindari.

Wallahu'alam.

2 comments:

bayuamus said...

wonderful writing. memang betul, di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah Islam, dialog antar agama jarang terjadi secara terbuka... pertanyaan2 yang terlontar dari rekan anda mungkin tidak akan ditanggapi baik kalau terlontarnya di lingkungan masyarakat muslim Indonesia.

namun di sisi lain, pertanyaan2 sedemikian akan membantu seorang muslim untuk lebih kritis dan mengerti agamanya. dan sebenarnya sikap kritis seperti ini sudah sepatutnya dimunculkan sedari awal mula, supaya kelak keimanannya kuat... bukan asal nunut panutan.

wassalam

Nyarinyarinyari said...

Assalamualaikum.
Mas Ridha yang baik,
jika berkenan, saya ingin sekali bisa berkorespondensi berkesinambungan dengan mas ridha. bagaimana saya bisa melakukannya?