Saturday, March 31, 2007

Sekilas mengenai da'wah di Amerika


Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan berarti kamu tidak menyampaikan amanat-Nya" (Al Qur'an 5:67)


"Dari Muhammad, hamba dan utusan Allah, kepada Heraclius, kaisar Romawi. Salam kepada mereka yang mengikuti petunjuk. Sesungguhnya saya mengajak anda untuk memeluk Islam agar anda selamat (surat Nabi kepada Kaisar Heraclius - HR.Bukhari)

Ada sebuah artikel yang pernah saya baca yang mengatakan bahwa kita yang sudah Islam ini tidak perlulah bersusah2 mengajak orang untuk memeluk Islam seperti halnya para misionaris Kristen yang mengajak orang memeluk Kristen. Dikatakan dalam artikel tsb bahwa di dalam Islam tidak ada paksaan dalam beragama, "la ikraha fiddin", "lakum dinukum wa liyadin". Meskipun dasar2 nash yang dipakai dalam artikel ini benar adanya, tetapi artikel tsb mengandung "half-truth" atau "partial information" karena penulisnya tidak memasukkan nash2 yang lain yang menganjurkan adanya da'wah kepada mereka yang belum memeluk Islam yang banyak ditemui dalam Al Qur'an, termasuk dalam sejarah perjalanan da'wah yang ditempuh Nabi SAW, seperti salah satu surat beliau yang dikutip di atas. Karena penggunaan basis argumentnya hanya partial, kesimpulan yang diambil penulis artikel tsb bisa salah.

Benar, tidak ada paksaan untuk memeluk Islam. Benar, dalam Islam diakui kebebasan beragama. Tetapi ini tidak berarti di dalam Islam tidak dikenal adanya da'wah, mengajak orang kepada Islam. Nabi SAW sejak diutusnya sampai beliau wafat selalu mengajak orang2 untuk memeluk Islam selain mengajarkan ajaran2 Islam kepada mereka yang telah memeluknya. Sejak dari kaumnya (Quraisy), sampai ke pelosok2 daerah di luar jazirah Arab (Romawi dan Persia). Bahkan para sahabat Nabi SAW ada yang sampai melakukan perjalanan da'wah ke negeri-negeri yang jauh seperti Cina. Ini menunjukkan bukti bahwa da'wah kepada non-Muslim merupakan salah satu bagian integral da'wah di dalam Islam.

Dulu saya pernah dikunjungi oleh beberapa brothers dari Jama'ah Tabligh. Setelah mendengarkan tausiyah mereka, saya bertanya mengapa da'wah tablighi ini tidak dikembangkan kepada da'wah kepada non-Muslim dengan mengunjungi rumah2 mereka dan menyampaikan informasi yang benar mengenai Islam sehingga bisa meluruskan kesalahan persepsi yang dimiliki banyak orang. Salah seorang brother menjawab bahwa prioritas da'wah mereka ditujukan untuk Muslim dahulu, baru setelah orang2 Islam dibenahi aqidah dan akhlaq mereka, da'wah tsb akan diarahkan kepada non-Muslim.

Saya bertanya lagi mengapa prioritasnya demikian, bukankah kita semua tahu bahwa saat ini image Islam digambarkan buruk oleh banyak media begitu pula oleh mereka yang anti-Islam, serta ajaran2nya banyak tidak diketahui atau bahkan disalahpahami oleh orang2 awam. Bukankah da'wah kepada mereka ini sangat dibutuhkan bukan hanya untuk kepentingan umat Islam di Amerika maupun negara2 lainnya (karena dampak foreign policy negara ini) tetapi juga kepentingan umat2 agama lain di pelosok dunia (yang berinteraksi dengan umat Islam), sehingga layak mendapatkan prioritas? Tidak ada jawaban memuaskan yang saya dapat.

Alhamdulillah di Amerika kini ada organisasi2 yang begitu aktif melakukan da'wah secara continue dan konsisten (seperti CAIR, ISNA, ICNA, dll) tetapi usaha mereka ini perlu disupport oleh Muslim community di tingkat lokaliti (local masjids/Islamic-centers/organizations). Bagus bila setiap lokaliti memiliki satu organisasi da'wah atau sub-unitnya yang dikhususkan menangani masalah da'wah terhadap non-Muslim ini yang bisa mencakup hal2 seperti:
  • Menyediakan informasi mengenai Islam - misalnya rukun Islam, rukun Iman, dll.
  • Meluruskan salah paham (misconceptions) terhadap Islam - misalnya salah paham "Muslims worship their Prophet".
  • Menjawab tuduhan2 (accusations) terhadap Islam - misalnya tuduhan "Muhammad is an evil robber and a pedofile", "Islam teaches terrorism", etc.
Pengalaman saya di beberapa lokaliti, ketika ada kunjungan" dari tetangga non-Muslim, para pelajar atau mahasiswa ke masjid, biasanya kita tidak memiliki orang2 yang memang dikhususkan untuk menangani audience ini. Kadang2 pertanyaan2 yang dilontarkan dijawab berlainan oleh beberapa brothers atau sisters yang tidak memiliki pengetahuan yang ditanyakan. Atau malah menjawab dengan jawaban yang terkesan "apologetics" tapi tidak berbasiskan sejarah yang benar. Misalnya ketika ada yang bertanya mengapa Nabinya umat Islam menikah dengan 'Aisyah yang masih tergolong minor (dalam standard modern), ada yang menjawab bahwa cerita itu tidak ada dasarnya (padahal jelas2 disebutkan dalam hadits2 shahih Bukhari, dllnya). Pengetahuan2 dalam menjawab hal2 seperti ini perlu dikuasai oleh mereka yang memang dikhususkan atau spesialisasi menangani urusan da'wah ini.

Kita yang sehari2 berhadapan dengan orang2 non-Muslim di kampus, kantor, groceries store, mall, dlsb, tentunya ingin menyampaikan informasi mengenai agama kita kepada mereka, apalagi di saat di mana berita2 di media massa ramai membicarakan Islam dan Muslim. Tetapi tentunya kita tidak ingin terlihat "pushy" atau pun "preachy" karena selain attitude macam ini menimbulkan sikap tidak simpatik, tetapi juga tidak mengikuti etika da'wah yang diajarkan Islam untuk mengambil cara yang bijaksana/hikmah:

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (Qur'an 16:125)

Tentunya metodologi "da'wah bil hikmah wa mauizhatil hasanah" ini perlu kita pelajari dan pahami. Kita perlu mengetahui cara2 apa saja dalam mengapproach audience yang akan kita da'wahkan. Da'wah di dalam Islam tidak menghalalkan segala cara termasuk menghalalkan penipuan, pengancaman, atau pemaksaan/pemerasaan, yang bisa kita jumpai dalam da'wah sebagian misionaris maupun kelompok extremis lainnya.

Kalau kita amati, bermacam2 tipe orang Amerika dari segi keyakinan hidupnya. Ada yang religious, ada yang atheist, ada yang agnostic, ada yang hedonist, dan lain sebagainya. Mereka yang tergolong religious, kebanyakan dari kalangan yang taat menjalankan agama Kristennya. Mereka benar-benar menjaga kepribadian dan kelakuannya berdasarkan ajaran kitab suci mereka. Di lingkungan kampus, organisasi kalangan ini aktif dalam mengadakan acara-acara studi mengenai Bible, ceramah-ceramah umum, memberikan bantuan dana dan tenaga kepada bencana-bencana alam dan kelaparan, dan lainnya. Kebanyakan dari mereka ramah dalam pergaulan, tapi tidak sedikit juga yang benar-benar fanatik dan dengan mudahnya mengutuk orang-orang yang berlainan keyakinan dengannya kata-kata "you will go to hell" atau "you will get eternal damnation."

Sebagian dari mereka dahulunya bergaya hidup serba hura-hura dan hedonist, dan akhirnya bertaubat dan menjadi "born again" (seorang yang lahir kembali dengan "holy spirit"/ruhul kudus sebagai pembimbing hidupnya). Tapi sayangnya mereka sangat ekstrim dan "taklid" buta dengan ajaran-ajaran Bible, sehingga tidak sedikit yang membuat interpretasi seenaknya terhadap ayat-ayat kitab sucinya. Tetapi di kalangan mereka juga bisa kita jumpai orang2 yang sincere dan baik hati terhadap mereka yang lain iman.

Sebagai contohnya saya ingin berbagi cerita tentang pengalaman semasa kuliah dahulu. Suatu hari selepas kuliah sewaktu melintasi taman rumput kampus, saya berhenti mengayuh karena melihat seorang pemuda, yang tengah berdiri di tengah-tengah taman, berkhutbah di sekitar mahasiswa-mahasiswi yang tengah tidur2an sembari membaca2 buku pelajaran. Saya tertarik mendengar khutbah yang dibawakannya. Setelah memarkir sepeda, saya duduk di bawah sebatang pohon rindang hendak mendengarkan khutbahnya sambil berpura2 membaca buku. "You have to serve God with all your heart! You shall not make for ourself an idol beside God! Have you replaced God with the things of this world? Have you lived for sex, drugs, or music? For wealth, power or pleasure? Is an education or career more important to you than serving God? If you care more about any one of these things than God you are committing idolatry!"

Terus terang saja, saya kaget mendengar khutbah sang pemuda saat itu. Kata2nya serupa dengan ajaran tauhid dalam Islam. Ada beberapa orang pelajar yang kemudian menimpali khutbah sang pemuda sambil mengolok-oloknya. "Hey, shut up, will you! There is no God! He does not exist! Ask your God, if He exists, to come here, to solve all the problems we have now! Ask Him to help the Bosnians, ask Him to stop the hunger of people in Africa, or elsewhere! Ask Him to stop killing people with AIDS virus!" Sang pemuda seperti terkena berondongan peluru oleh olok-olokan orang-orang di sekitarnya, kembali mencoba membuka-buka Bible yang dibawanya dan membaca beberapa ayat dari dalamnya. Beberapa saat kemudian ia "sujud" sebagaimana sujudnya orang-orang Islam dalam shalat. Saya kembali terkejut melihat tingkahnya yang termasuk "aneh" itu.

Sebenarnya saya merasa kesal dan kasihan mendengar tertawaan mereka terhadap pemuda itu. Tapi saya tidak berani berbuat apa-apa dan hanya diam di sana. Ketika tatapan saya berpas-pasan dengan tatapannya, mungkin karena melihat ada seseorang yang tertarik akan khutbahnya, tanpa saya duga ia datang menghampiri tempat saya duduk. Dengan ramah ia menyapa dan duduk di sebelah saya. Ia menanyakan nama saya. Setelah saya jawab, tampaknya ia kaget. Dia bertanya, "Are you Moslem?" Saya jawab, "Yes, I am a Muslim." Dia bertanya lagi "Do you worship Mohammed?" Saya terkejut mendengar pertanyaannya. Ia menyangka Muslim menyembah Nabi Muhammad SAW. Saya mencoba menjawab pertanyaannya. "No, we do not worship him. We worship Allah Almighty." Dia bertanya lagi "Allah? Is that the name for one of gods of Arabs?" Saya kembali terkejut. Dia menyangka nama "Allah" merupakan salah satu nama dewanya orang Arab. Setelah saya jawab bahwa Allah itu bukan nama dewa orang Arab karena orang Kristen dan Yahudi Arab pun menyebut "Allah" sebagai Tuhan mereka, ia pun mulai mengajak diskusi mengenai konsep dosa dalam Islam.

Ketika saya menjelaskan hal tsb kepada Veso, nama missionaris tsb, tiba2 ada beberapa orang temannya yang datang dan duduk bersama kami. Salah seorang dari mereka bertanya apakah saya tahu mengenai keajaiban Bible yang ia pegang saat itu. Saya bilang saya tidak tahu. Dia pun mulai menjelaskan bahwa semua peristiwa di dunia yang terjadi saat ini sudah diprediksi di dalam Bible, termasuk perang dunia, runtuhnya Russia, dlsb. Lalu saya tanya kalau begitu Nabi Muhammad, Nabinya umat Islam yang jumlahnya milyaran jiwa, yang mengajarkan penghormatan tinggi terhadap Jesus dan ibunya, tentu telah diprediksi di dalamnya. Sang pemuda terlihat "taken by surprise", dan mengatakan tidak ada: "Nowhere in the Bible you can find a verse about your Prophet!". Lalu saya jawab lho bukankah tadi dikatakan semua big event di dunia telah diprediksi di Bible? Salah seorang lainnya dari mereka berkata "Oh yes, your Prophet is mentioned in the Bible. He is the Anti-Christ!". Veso terdiam terlihat merasa tidak enak dengan tingkah laku teman2nya.

Saya berusaha menjawab dengan tenang (menahan emosi yang agak naik juga sebenarnya), "Anti-Christ? Our Prophet told us too about the coming of the Anti-Christ (Dajjal) near the end of days. This Anti-Christ will be killed by Jesus Christ when he returns in his second coming." Pemuda tadi terlihat surprise, mungkin baru tahu bahwa di dalam Islam dikenal adanya "Anti-Christ" dan "the second coming of Jesus". Saya lanjutkan bercerita bahwa ketika Nabi Isa datang dia akan mematahkan salib (simbol penyaliban, yang diartikan beliau akan mengingkari dirinya disalib) dan membunuh babi (ada yang mengartikan "babi" di sini merefer ke "Dajjal/Anti-Christ", ada pula yang mengartikan Jesus akan mengingkari pernah menghalalkan babi untuk dimakan). Wajah kelima orang pemuda-pemudi misionaris, termasuk si Veso, yang duduk mengelilingi saya terlihat begitu curious karena belum pernah mengetahui hal ini ada dalam Islam.

Tetapi tiba2 seorang pemuda dari mereka bangkit dan sambil berkata "I curse Islam in the name of Jesus!". Lalu ia pun pergi meninggalkan kami yang hanya bisa melongo melihat tingkahnya. "Don't worry about him." kata Veso berusaha menenangkan situasi. Lalu kami pun berjabat tangan dan berpisah dengan saling berterima kasih telah sharing informasi. Saya tidak berharap banyak dari perjumpaan itu tapi hati saya merasa bersyukur diberikan kesempatan oleh Allah SWT untuk memberikan informasi kepada mereka mengenai Islam.

Golongan agnostic dan atheist biasanya tidak menghiraukan masalah keagamaan. "I do not care, God exists or not, Hell and Paradise exist or not." Mereka sama sekali tidak tertarik dengan salah satu agama dunia. Bagi mereka, agama adalah candu yang mengekang pengikutnya dari kemajuan zaman. Mereka lebih tertarik dalam dunia ilmu pengetahuan yang nyata dapat dirasakan manfaatnya. Banyak dari mereka yang dinilai berhasil dalam studinya di universitas. Meskipun mereka mengklaim tidak beragama, banyak adri mereka yang masih menjaga etika norma dalam masyarakat.

Yang menjadi penghalang mereka dari agama biasanya banyaknya pertanyaan mereka yang tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari konsep ketuhanan agama. Contohnya: "Why God creates us?", "Why God creates evil?", "Why God sends people to hell?" Tidak sedikit dari mereka yang lari dari agama orangtua mereka karena banyak dari ajaran2nya yang didapat tidak masuk akal mereka (atau tidak bisa diterima oleh feeling mereka). Ada juga yang lari karena sikap munafik dan tidak simpatik dari penganut2nya.

Golongan hedonist menganut keyakinan bahwa selama hidup di dunia ini, kita harus menikmati semaksimal mungkin kenikmatan-kenikmatan yang ada. Mereka biasanya berasal dari golongankaya dan berkecukupan. Mereka umumnya masih memegang keimanan/agama mereka, tetapi ada pula yang telah membuang imannya. Bagi yang beragama, agama bagi mereka hanya sebagai penghibur hati di kala sedih. Ketika kesenangan datang, agama mereka lempar jauh-jauh. Saya melihat sendiri semasa kuliah dulu banyaknya mahasiswa dan mahasiswi yang menolak menerima pembagian cuma-cuma Bible oleh penyebarnya di pelataran kampus, bahkan beberapa orang melemparnya ke tong sampah.

Dalam da'wah diperlukan keahlian dalam mengapproach audience da'wah, dalam hal memahami kadar akal/logika mereka, keahlian bahasa mereka, dan kedudukan/tradisi mereka. Allah SWT berfirman:

"Tidaklah kami mengutus seorang rasul kecuali dengan lisan kaumnya agar dia menerangkan kepada mereka." (Ibrahim: 4)

Sejauh yang saya amati ada beberapa level pengetahuan dan attitude dari orang2 non-Muslim yang menjadi audience da'wah:
  1. Orang2 yang jujur benar2 ingin mendapatkan informasi mengenai Islam. Orang2 pada level ini biasanya banyak tidak tahu tentang Islam, bahkan banyak ajaran2 dasarnya (rukun Islam, rukun Iman, kitab dan Nabinya, dll) tidak diketahui mereka.
  2. Orang2 yang jujur benar2 ingin mendapatkan penjelasan dari pertanyaan2 mengenai Islam yang membingungkan mereka yang bisa jadi didapat dari media. Biasanya orang2 pada level ini tahu secara garis besar ajaran dan dasar2 Islam saja.
  3. Orang2 yang merasa sudah tahu mengenai Islam dan ajaran2nya (meskipun sumber yang salah) dan yakin akan keburukan Islam serta senang melakukan perdebatan dengan orang2 Islam untuk meyakinkan mereka akan keburukan agama mereka.
  4. Orang2 yang merasa yakin bahwa mereka sudah tahu mengenai Islam dan seluruh ajarannya (meskipun dari sumber yang salah) dan yakin akan keburukan serta bahayanya sehingga melakukan segala cara untuk menyebarkan tuduhan2 negatif terhadap Islam di publik dan media massa.

Perbedaan sikap dari non-Muslim ini disinggung di dalam Al Qur'an dengan reference ke Ahli Kitab:

"Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh." (Qur'an 3:114-115)

"Dan sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya." (Qur'an 3:199)

Bagaimana cara berdiskusi/beradu-argumentasi/berdebat dengan kelompok2 yang berbeda2 ini? Allah SWT mengisyaratkan dalam Qur'an:

"Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri". (Qur'an 29:46)

Dalam sirah Nabi bisa kita dapati insiden di mana Nabi SAW didatangi kunjungan sekitar 60 delegasi dari Najran yang beragama Nasrani yang kemudian terjadi perdebatan/adu argumentasi di antara mereka. Mereka diterima Nabi di masjid Nabawi. Ketika Nabi mengajak mereka masuk Islam, mereka berkilah "Kami sudah Islam". Nabi menjawab "Kalian belum Islam karena kalian menyembah salib, menghalalkan daging babi, dan mengangkat Nabi Isa sebagai anak Allah". Mereka menjawab "Kalau bukan Allah, siapa lagi ayahnya?" Terjadi tanya jawab antara Nabi dan para delegasi tentang sifat2 Nabi Isa yang berbeda dengan sifat2 Allah.

Meskipun Nabi secara logika telah menang dalam debat ini, tetapi para delegasi tetap bersikukuh akan keyakinan mereka, sampai Allah SWT menurunkan ayat mengenai mubahalah (doa bersama memohon Allah untuk menurunkan kutukan terhadap orang yang berbohong sehingga terlihat oleh kedua pihak siapa yang benar2 berbohong). Nabi SAW mengajak putri dan menantu beliau (Fatimah dan Ali bin Abi Thalib), serta cucu2 beliau (Hasan dan Husain) untuk diajak bermubahalah dengan delegasi Najran ini tapi kemudian para delegasi tidak berani karena takut kalau memang Muhammad itu benar2 Nabi, seluruh keluarga mereka akan terkena dampak kutukannya. Akhirnya mereka berdamai (dengan tetap memeluk agama mereka) dan berjanji setia kepada Nabi SAW as part of the community.

Kita tahu bahwa dalam berdiskusi semua pihak harus menyadari akan kemungkinan dicapainya suatu point dimana semua pihak harus "agree to disagree". Allah SWT mengisyaratkan dalam Al Qur'an agar dalam hal ini kita harus mengedepankan persamaan keyakinan (common ideas/beliefs), bukannya masalah perbedaan:

Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (Qur'an 3:64)

Ayat ini pun diquote Nabi SAW dalam surat beliau kepada kaisar Romawi, Heraclius.

Dr. Ahmad Sakr pernah bercerita bahwa ada satu Muslim community di suatu kota di Amerika yang ingin membeli sebuah gereja untuk dijadikan Islamic center dan school. Karena harganya yang tinggi mereka berusaha menawar harga tetapi tidak berhasil. Beberapa hari kemudian ada beberapa Christian Nuns yang datang ke masjid dan bertanya tentang Jesus in Islam. Ketika dijelaskan dan ditunjukkan ayat2 mengenai Nabi Isa dan ibunya di dalam Al Qur'an, para Nuns ini merasa terharu, dan berjanji akan membicarakan harga penjualan gereja dengan pihak gereja supaya bisa diturunkan harganya. Mereka berkata "kami merasa lebih lega bila bisa menjual gedung gereja itu kepada pihak Muslim yang masih menyembah Tuhan serta menghormati Jesus dan ibunya daripada kepada orang2 sekuler yang tidak menghormati Tuhan dan Jesus sama sekali." Akhirnya gedung gereja itu pun dijual dengan harga yang jauh lebih murah dari harga yang ditawar oleh pihak Muslim. Ini contoh orang2 non-Muslim yang jujur seperti nomor 1 di atas.

Da'wah harus jelas fokus tujuannya (sharing information, correct misconceptions, etc), dan target audiencenya. Ada baiknya kalau tujuan yang ingin dicapai dibuat kecil scopenya supaya tidak terlalu besar agar bisa tercapai. Bagus lagi kalau ada planning jangka panjang dan jangka pendeknya. Seperti dalam jangka pendek yang ingin dicapai:
  • Membuat brosur atau pamflet berisikan jawaban terhadap pertanyaan2 yang biasa dilontarkan oleh non-Muslim.
  • Membuat basic kit buat brothers and sisters yang baru masuk Islam (new converts/reverts) - seperti cara2 ibadah, shalat, contact persons in community, etc.
  • Membuat pengajian buat new converts ini supaya mereka merasa di-welcome dalam Muslim community yang biasanya lebih dekat dengan orang2 dari negara2 asal mereka.
  • Membuat paket presentasi buat the schools and the libraries in the community.
  • Dlsb.

Terakhir yang amat penting dalam hal da'wah kepada non-Muslim adalah da'wah bil hal (da'wah dengan tingkah laku). Tingkah laku kita menjadi buku mengenai "Islam" atau "Muslim" yang dibaca oleh orang2 di sekitar kita. Perkataan yang tidak seragam dengan tingkah laku menimbulkan kesan munafik dan ini merupakan sikap yang tidak simpatik. Kita tentunya tidak ingin dicap munafik oleh manusia apalagi oleh Allah SWT. Na'udzubillah min dzalik. Sikap seperti ini jelas diperingatkan oleh Allah SWT dalam ayat:

"Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan." (Qur'an 61:2-3)

Dalam sejarah Nabi SAW banyak kita lihat contoh2 suri teladan beliau dalam melakukan amalan2 yang beliau da'wahkan. Bahkan istri beliau berkata bahwa beliau adalah "Qur'an yang berjalan", maksudnya semua ajaran2 Qur'an beliau amalkan (tidak hanya mengajarkannya kepada orang lain tapi juga mempraktekkannya sendiri). Pernah suatu hari di saat Nabi SAW dan para sahabat beliau berada di masjid, masuk seorang Badui ke dalam masjid dan kencing di dalamnya. Beberapa sahabat ada yang berusaha mengusirnya, tetapi Nabi melarang dan berkata "Biarkan ia selesaikan hajatnya". Badui ini kagum akan tindakan Nabi yang bijaksana sehingga mengangkat tangannya dan berdoa "Ya Allah, berilah rahmat kepadaku dan kepada Muhammad, dan jangan yang lainnya". Nabi pun berkata padanya "Jangan kamu menyempitkan sesuatu yang sangat luas (rahmat Allah)".

Di zaman kekhalifan Ali (RA), Ali pernah kehilangan perisai beliau dan beliau mendapatinya dibawa oleh seorang Ahli Kitab (Yahudi). Khalifah Ali (RA) melaporkan kasus ini dan membawanya ke pengadilan. Di pengadilan, sang hakim bertanya apakah Khalifah memiliki bukti bahwa perisai itu milikinya. Ali (RA) menjawab ia tidak memiliki bukti apa2. Akhirnya pengadilan memenangkan si Ahli Kitab dalam kasus ini. Belum jauh ia berjalan keluar dari ruang pengadilan, ia berbalik berjalan menuju Ali (RA) dan berkata: "Sungguh, kejadian seperti ini tertulis dalam Hukum-hukum para Nabi di Taurat. Seorang Khalifah yang berkuasa kalah dalam pengadilan di kekhalifahannya yang dipimpin oleh hakim dalam kekhalifahannya pula. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi Muhammad itu utusan Allah. Wahai Khalifah, perisai ini adalah milikmu. Aku mendapatinya di tengah padang dalam peperangan Shiffin." Ali (RA) yang merasa terharu akan pengakuan orang tadi menjawab "Ambillah, sekarang perisai itu menjadi milikmu." ...

Wallahu'alam.

Monday, September 04, 2006

Menganalisa metode propaganda anti Islam


Di tengah kemelut politik dunia akhir-akhir ini, Islam disudutkan sebagai agama yang mengajarkan terorisme dan penindas hak asasi manusia. Tidak sedikit kita jumpai pandangan-pandangan anti-Islam yang dipropagandakan untuk memperburuk image agama besar dunia yang penganutnya lebih dari satu miliar manusia ini.

Angin propaganda bertiup keras lewat buku-buku anti-Islam seperti Islam and Terrorism, Islamic Invasion, The Myth of Islamic Tolerance, Islam Unveiled, Prophet of Doom, Why I am Not a Muslim, dan Apostates Speak Out. Juga banyak artikel atau tulisan di internet yang berisikan pandangan serupa, yang mudah diakses dan dibaca di seluruh dunia.

Walaupun dikemas dengan gaya berbeda, pandangan-pandangan anti-Islam ini bernada sama: Islam dianalogikan dengan 'virus' yang bisa membuat orang normal menjadi ekstrem dan berbahaya. Alquran dipandang sebagai buku yang meracuni pemikiran manusia menjadi terbelakang, tidak toleran, serta penuh kebencian dan permusuhan terhadap semua orang yang berbeda agama.

Nabi Muhammad SAW, tokoh utama yang dijadikan idola setiap Muslim, yang namanya dibaca dalam doa di setiap shalat, digambarkan sebagai seorang yang buruk perangainya, seorang perampok dan pembunuh kejam, seorang poligamis yang merendahkan derajat wanita, juga seorang pedofil karena menikahi anak di bawah usia. Umat Islam dipandang rendah standar moralnya karena dianggap sama sekali tidak menghargai nyawa manusia.

Propaganda anti-Islam ini tidak hanya mempengaruhi kalangan awam, tetapi juga para tokoh agama dan politik di negara-negara non-Muslim. Akibatnya, tidak jarang keluar komentar buruk atau kebijaksanaan yang dirasa tidak adil terhadap orang-orang Islam di sana. Ketika komentar para tokoh ini diliput media nasional dan mendapat perhatian banyak orang, image Islam dan umatnya menjadi bertambah buruk di mata publik.

Umat Islam yang menjalankan ajaran dasar agamanya tidak jarang dipandang sebagai seorang ekstremis dan cikal bakal teroris yang harus selalu diwaspadai dan dicurigai sebagai seorang yang bersalah. Seakan-akan motto keadilan innocent until proven guilty tidak berlaku buat orang Islam. Yang terjadi malah sebaliknya: guilty until proven innocent.

Pandangan publik yang buruk ini membuat sebagian orang Islam yang hidup di negara-negara non-Muslim merasa malu menunjukkan identitas keislaman mereka. Sayangnya, di tengah situasi seperti ini, sedikit sekali dapat kita jumpai tanggapan para ulama Islam terhadap propaganda anti-Islam ini. Bilapun ada, tanggapan mereka jarang yang dipublikasikan di negara-negara non-Muslim. Padahal sangat diperlukan untuk mengubah persepsi yang salah.


Metode anti-Islam


Tulisan singkat ini dibuat untuk mengekspose metode-metode yang biasa digunakan kalangan anti-Islam dalam menyebarkan propaganda mereka, dan peran apa yang bisa dilakukan oleh umat Islam dalam menghadapi tantangan ini.

Metode pertama yang sering dijumpai adalah penggunaan informasi dari sumber-sumber yang tidak jelas dasarnya. Misalnya, banyak dari kalangan anti-Islam mengutip pernyataan dari kalangan orientalis maupun ulama Islam yang langsung dijadikan premis yang dianggap valid untuk mendukung tuduhan mereka tanpa dijelaskan dasar-dasar argumentasinya.

Contohnya, untuk menunjukkan bahwa Islam tidak mengenal toleransi beragama untuk menafikan ayat-ayat Al Qur'an tentang toleransi (seperti laa ikraha fiddin, lakum dinukum wa liyadin) mereka mengutip pendapat beberapa ulama Muslim yang mengatakan ''ayat-ayat toleransi'' sudah di nasakh (dibatalkan hukumnya) dengan ''ayat-ayat pedang (perang)''.

Seharusnya mereka menyadari bahwa pendapat siapapun mengenai Islam sekalipun dikeluarkan oleh mereka yang berstatus ulama argumentasinya harus berdasarkan sumber-sumber yang diakui, yakni Alquran dan Hadits shahih Nabi SAW. Apalagi, ini berhubungan dengan nasikh dan mansukh yang jelas harus ada keterangan langsung dari Nabi SAW. Tanpa ada dasar-dasar ini, pernyataan ulama hanya bisa diakui sebagai pendapat atau interpretasi pribadi, yang mungkin saja dikeluarkan dalam konteks dan situasi tertentu di zamannya.

Metode kedua adalah penggunaan sumber-sumber sejarah yang tidak reliable atau tidak terjamin otentisitasnya. Untuk menghujat Nabi SAW, kalangan anti-Islam biasanya mengutip kisah yang bisa ditemui di dalam kitab-kitab sirah Nabi dan tarikh Islam, seperti Ibnu Ishaq, Ibnu Sa'ad, dan Thabari, tanpa mempedulikan status kesahihan riwayat kisah tersebut.

Seharusnya mereka mengetahui bahwa kitab-kitab ini berbeda dengan kitab-kitab Hadits yang bisa dijumpai rantai periwayatannya dari informasi yang dicatat, sehingga bisa diteliti status keshahihannya. Imam Thabari sendiri menjelaskan dalam muqaddimah kitab tarikh-nya bahwa ia memasukkan semua berita yang didengarnya tanpa menyaring kembali kesahihan periwayatannya. Sayangnya, penjelasan beliau sebagaimana penjelasan ahli-ahli sejarah Islam lainnya tidak dipedulikan oleh kalangan anti-Islam ini.

Metode ketiga adalah penggunaan informasi yang parsial, tidak utuh, yang dijelaskan out of context, meskipun dari sumber-sumber yang sahih. Karena tidak mengandung informasi yang menunjukkan konteks dan fakta yang benar, kutipan-kutipan yang parsial cenderung menyebabkan kesalahan dalam mengambil kesimpulan.

Ini bisa kita lihat ketika mereka mengutip potongan kisah-kisah kehidupan Nabi SAW yang diseleksi untuk menghujat beliau. Seharusnya mereka menyadari bahwa membaca perjalanan hidup Nabi serupa dengan menonton film kolosal berseri. Menonton hanya sepotong episode tidak akan membuat kita tahu jalan cerita yang sebenarnya. Bahkan, pihak yang benar bisa dianggap sebagai penjahat, sedang para penjahat bisa dianggap berada pada pihak yang benar.

Contoh lain misalnya pengutipan ayat-ayat perang dalam Alquran tanpa menjelaskan konteks diturunkannya, atau asbabun-nuzul-nya. Ayat 9:5 dikutip tanpa ayat 1-15 dalam surah yang sama, atau tidak dikutipnya ayat lain yang menjelaskan dua konteks yang berbeda, misalnya ayat 60:8-9.

Contoh lainnya dapat dilihat ketika tidak dikutipnya ayat-ayat Alquran, Hadits Nabi ataupun kisah-kisah dalam sirah, yang menggambarkan kemuliaan ajaran Islam atau sifat-sifat agung dan tanda-tanda kerasulan Nabi SAW. Padahal, semua ini sama-sama ada dalam kitab-kitab yang mereka gunakan untuk menghujat 'keburukan moral' Islam dan Nabi.

Metode keempat adalah penggunaan standar ganda atau standard berbeda dalam menghujat Islam dan Nabi. Standard ganda biasanya digunakan oleh kalangan anti-Islam dari golongan Kristen fundamentalis. Contohnya Nabi SAW dituduh nabi palsu dengan alasan beliau melakukan peperangan dan beristri banyak. Padahal, dalam kitab suci mereka sendiri didapati kisah para Nabi yang berperang dan yang memiliki banyak istri. Standar yang berbeda sering juga digunakan kalangan anti-Islam. Contohnya ketika Nabi dituduh sebagai pedofil karena menikahi Aisyah yang masih kecil berdasarkan standar modern yang tidak dikenal pada zaman kontemporer beliau. Tradisi ini tidak mendapatkan satu pun kecaman terutama dari musuh-musuh beliau saat itu yang selalu berusaha mencari kesalahan untuk dihujat.


Metode kelima adalah pengaburan sejarah Islam. Islam dituduh sebagai sumber keterbelakangan dan kemunduran. Padahal jelas sejarah menunjukkan kemajuan peradaban Islam jauh sebelum majunya peradaban di Barat. Islam dituduh pula sebagai penyebab sikap tidak toleran terhadap mereka yang berbeda agama. Padahal sejarah jelas menunjukkan bahwa umat Islam dapat hidup berdampingan dengan umat lainnya sejak zaman Nabi SAW di Madinah. Sejarah juga menunjukkan bahwa ketika dilancarkan inquisition di Spanyol pada abad pertengahan, berbondong-bondong orang Yahudi lari keluar Spanyol dan diberikan perlindungan di dalam kekhalifahan Islam. Ini menunjukkan anti-Semit tidak dikenal di dalam Islam seperti yang sering dituduhkan.

Metode keenam adalah penggunaan generalisasi. Ini biasanya dikaitkan dengan peristiwa kekerasan ataupun terorisme yang terjadi dalam pergolakan politik dunia Islam. Perbuatan sekelompok kecil orang Islam yang menyimpang dari ajaran Islam dinilai mewakili semua orang Islam, atau diidentikkan dengan ajarannya dan contoh dari Nabinya. Seharusnya mereka sadar bahwa menilai suatu agama tidak bisa dilihat dari perbuatan pemeluknya, tapi dilihat dari ajaran agama tersebut. Meskipun terorisme jelas dilarang dalam Islam dan mayoritas umat Islam mengutuknya, kalangan anti Islam tetap menyebarkan propaganda mereka bahwa Islam dan Muslim mendukung terorisme.


Peran ulama

Menghadapi tantangan merebaknya propaganda anti-Islam, para ulama sangat diharapkan berperan aktif dalam menjawab tuduhan-tuduhan tersebut dengan informasi dan argumentasi yang benar dan jelas. Jawaban para ulama hendaknya jangan hanya dipublikasikan di negara-negara Muslim, tetapi juga di negara-negara non-Muslim dalam bahasa mereka.

Selain ulama, pemerintah diharapkan pula dapat berperan aktif dengan usaha-usaha diplomasi serta mampu menunjukkan ketegasan sikap terhadap pihak-pihak yang mengobarkan kebencian dan permusuhan terhadap Islam dan umatnya.

Terakhir, tanpa mengecilkan perannya, umat Islam diharapkan untuk menuntut ilmu Islam secara benar dan utuh, serta tetap menunjukkan sikap kritis terhadap usaha-usaha penyebaran propaganda anti-Islam dengan berpegang teguh pada nilai-nilai mulia Islam yang rahmatan lil 'alamin. Kita semua menyadari bahwa dakwah yang paling efektif adalah da'wah bil-hal, sebagaimana dicontohkan oleh junjungan kita yang mulia, Nabi Muhammad SAW. Wallahu a'lam.

Tuesday, July 05, 2005

Conflict management buat umat

Terus terang saja, saya memiliki trauma mengenai unity dalam umat ini. Sudah banyak saya lihat perdebatan sengit di masjid, sampai menuju ke perkelahian fisik sesama Muslims, hanya karena diakibatkan perbedaan pendapat terhadap suatu hal yang sepele. Dalam rapat MSA (Muslim Students' Association), masjid committee members, bahkan dalam acara ceramah mingguan di dalam masjid, sempat pernah terjadi konflik macam ini. Sedihnya lagi, ada beberapa Muslim yang baru mencoba aktif di masjid, menjadi malas ke masjid kecuali untuk shalat Jum'at, karena perasaan was2 terjadinya conflict.

Itu baru dari sebuah local Muslim community. Belum lagi dari segi nasional, internasional. Banyak sudah orang mengumandangkan perlu ukhuwah Islamiyah, tapi tidak sedikit dari mereka malah membuat kotak2 baru di umat ini. Antara berbagai organisasi Islam tidak jarang konflik2 terjadi antara sesama Muslim akibat perbedaan visi, background dan metode2 da'wah yang tidak jarang membuat sekat2 pembatas, padahal masing2 mempunyai tujuan sama, yakni menjunjung tinggi kalimat Ilahi. Teringat selalu peristiwa masa lalu dalam sejarah perjalanan umat Islam, peristiwa pecahnya perang antara Ali dan Mu'awiyah, yang sama2 merasa berdiri di atas kebenaran, begitu pula sepeninggal mereka, antara Sunni dan Syi'ah, antara NU dan Muhammadiyah, dlsb.

Manusia yang diberikan akal dengan kapasitasnya masing2 oleh Allah SWT memiliki latar belakang yang berbeda2 sehingga normal saja bila manusia yang satu berbeda pendapat dengan manusia lainnya terhadap hal yang sama. Beda pendapat biasanya dilihat sebagai suatu hal yang negatif oleh banyak orang, padahal bisa menjadi hal yang positif apabila dengannya terbuka pandangan dan menjadi luasnya wawasan masing2 pihak. Perbedaan pendapat ini kalau tidak bisa di-manage atau di-handle dengan baik akan menyebabkan konflik di antara pihak2 yang berbeda pendapat. Dan pada umumnya konflik bersifat merugikan kalau membuat perpecahan atau permusuhan antara pihak2 yang mengalaminya.

Kalau saja orang2 Islam memahami bagaimana caranya me-manage perbedaan pendapat yang terjadi antara mereka tentunya konflik bisa dihindari sehingga tidak akan terjadi perpecahan bahkan perseteruan yang tajam antara sesama Muslim. Sayangnya, jarang sekali setahu saya di masjid2, sekolah2, organisasi2 Islam, kita dengar adanya materi2, workshop, atau seminar2 yang membahas bagaimana cara mengatasi konflik ini. Adanya guidelines atau petunjuk secara terstruktur cara keluar masalah ini sangatlah bermanfaat buat umat Islam yang kini tengah tidak bersatu akibat berbagai konflik (termasuk konflik antar pribadi/personal, ataupun antar jamaah).

Berikut ini contoh beberapa guidelines dalam menyelesaikan konflik dengan cara syura, musyawarah, yang saya dapat dari berbagai sumber:
  1. Kumpulkan fakta yang benar, hindarkan hearsays/gossips/rumors,
  2. Bersikap objective dan sabar, tidak subjective dan emosional,
  3. Hindari titik2 ekstrim yang bisa membuat lebih parah conflict,
  4. Coba lihat dari kedua pihak perspective (put yourself in other people shoes) untuk memahami perasaan pihak lain,
  5. Mau mengakui kebenaran atau argument pihak lain bila bisa diterima secara objective, dan mengakui kesalahan serta mengkoreksinya bila memang demikian setelah didiskusikan masalahnya,
  6. Rendah hati dan tetap menjaga akhlaq karimah.

Dr.Iqbal Unus dari ISNA (Islamic Society of North America) pernah menulis suatu artikel mengenai cara mengatasi conflict dengan metode SALAM:
  1. Stating the conflicting view,
  2. Agreeing the conflict exist, without making any judgment,
  3. Listening for and learning the difference,
  4. Advising one another, recognizing that the advisor is not always right, accepting the standard Al Qur'an and the authentic Sunnah,
  5. Minimizing areas of disagreement that could lead to aggression or withdrawal

Semua ini bisa disimpulkan dalam 3 metode:
1. Shura (musyawarah),
2. Naseeha (saling menasehati),
3. Ta'awun (saling kerja sama membangun/cooperation).

Apakah mungkin dengan mengajarkan materi seperti ini di dalam acara training dan seminar2 Islam dapat meminimize dampak negatif dari konflik yang telah ada atau bahkan dapat menghilangkannya dari umat? Sehingga persatuan yang selalu diimpikan dan didambakan menjadi realitas...?

Wallahu'alam.

Saturday, July 02, 2005

Moral standard at square one

Benar dan salah dalam dunia eksakta (empirical) lebih mudah ditentukan dibanding di dunia sosial, di mana moral standard yang dipakai oleh banyak orang berbeda2. Benar dan salah suatu statement dalam dunia eksakta ditentukan berdasarkan factuality dari statement tsb berdasarkan observasi dan logical reasoning yang dimiliki manusia. Kalau ada yang bilang bumi ini ceper seperti koin, tentu dianggap salah karena secara factual tidak demikian. Tapi kalau ada yang bilang sah2 saja berzina kalau suka sama suka, argument apa yang bisa digunakan untuk membuktikan salah atau tidaknya?

Ada yang bilang moral itu serba relatif. Tidak ada yang benar dan salah. Para pembela moral relativitas harus konsisten bahwa serial murderer macam Ted Bundy, Manson, dll, tidak bisa dihukum salah karena salah benar itu relatif saja menurut teori mereka. Lalu apa yang dijadikan standard moral dalam hidup ini?

Apakah bisa kita mencontoh dari alam sekitar (dunia hewan), siapa kuat dia yang menang (survival the fittest)? Jadi tidak boleh disalahkan orang menzalimi orang lain karena dia lebih kuat dari orang yang dizalimi tsb. Atau apakah bisa kita jadikan suara mayoritas sebagai standard morality? Teringat kasus pembantaian oleh kaum mayoritas di Serbia, Nazi, dlsb. Atau apakah bisa kita jadikan hati nurani sebagai standard morality? Hati nurani siapa yang mau dijadikan patokan? Apakah hati nurani koruptor, pelacur, kiyai, dll, sama? Apa kriterianya? Orang biasa hidup bergelimang dosa, tentu tidak akan menganggap perbuatannya dosa.

Ada yang bilang moral standard harus didasarkan kepada untung dan rugi semua pihak yang bersangkutan (utility theory). "Perlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan", inikah golden rule of moral standard? Berzina kalau suka sama suka itu tidak ada salahnya, selama tidak ada yang dirugikan. Homosex dan incest pun kalau tidak ada yang dirugikan tidak ada salahnya. Pencurian dan korupsi itu salah kalau ada yang dirugikan. Kalau tidak ada yang dirugikan, apakah berarti tidak lagi salah?

Ketika membahas hal ini, sering orang lupa bahwa manusia itu makhluk sosial, di mana setiap aktivitas seorang pasti bersinggungan dengan kepentingan orang lain langsung maupun tidak langsung, private maupun publik. Dalam banyak hal yang complex, perhitungan untung dan rugi sulit digunakan menjudge mana salah dan benar? Dari pihak mana untung dan rugi ini dilihat? Suatu perbuatan akan dibilang benar oleh orang yang untung tapi akan dibilang salah oleh orang yang rugi. Sampai sekarang banyak social issues seperti war, capital punishment, abortion, euthanasia, homosexual, dll, yang masih dalam perdebatan whether or not it is ethical or acceptable. Misalnya anda menempatkan diri sebagai seorang dokter yang mendapat permintaan euthanasia "mercy killing" dari seorang pasien anda:

- Apakah anda akan merasa senang membunuh pasien (dengan menghentikan semua alat life-supportnya)? Pasien mungkin akan senang karena merasa akan terlepas dari pain/suffering yang dialaminya setelah mati. Tapi apakah anda senang telah menghilangkan nyawa orang dengan sengaja?

- Kalau anda tidak senang (menjadi pembunuh), apakah tindakan itu perlu anda lakukan untuk membuat pasien lepas dari penderitaannya? Apakah anda akan paksakan perasaan anda untuk membenarkan tindakan ini karena merasa perlu dilakukan?

Ini pun baru satu contoh. Banyak contoh lainnya. Misalnya lagi, anda mendapat kesempatan emas to have an affair with a beautiful woman, without worry about getting caught by your wife. You are happy, your sex partner is happy, and your wife doesn't know, so nobody gets hurt. Apakah ini menjadi benar dan ethical? Apakah kebohongan dan pengibulan (kalau tidak ketahuan dan tidak ada yang dirugikan) akan menjadi suatu hal yang benar, ethical dan acceptable? Acceptable dalam pandangan siapa? Diri sendiri atau society? Atau mungkin lebih jauh lagi, acceptable dalam pandangan Tuhan pencipta manusia itu sendiri? Semua usaha mencari standard moral dengan akal akan kembali lagi ke square one. Terombang-ambing di tengah2 samudra berbagai macam pemikiran ini, tidak sedikit manusia menjadi bingung dan tidak tahu kemana lagi akan melangkah pasti dalam hidup ini. Sudah seharusnya agama dilirik dan dipelajari kembali.

"Fa alhamaha fujuraha wa taqwaha.
Qad aflaha man zakkaha wa qad khaba man dassaha" (Qur'an 91:8-10).

"Fa imma ya'tiyannakum minni hudan, fa man tabi'a hudayya
fa la khaufun 'alaihim wa la hum yahzanun" (Qur'an 2:37).

Wallahu'alam bi shawab...

Friday, July 01, 2005

Mengapa memilih Islam?

Muslim yang hidup di negara2 yang mayoritas penduduknya non-Muslim sering berhadapan dengan berbagai pertanyaan dari mereka, baik yang ingin tahu tentang Islam, atau memang sengaja melontarkan hujatan2, terutama akhir-akhir ini di mana Islam sering diidentikan dengan ajaran terorisme. “Are you not somewhat embarrassed to profess such a religion that is filled with hate and has its history smeared with blood?” tanya seorang teman semasa kuliah. Seorang teman lain berkomentar ketika menonton berita di televisi: “Look at this news, Muslims are killing innocent people again!!”.

Saya masih ingat membaca artikel-artikel di surat kabar, majalah, internet, mendengar dan melihat talk show di radio dan televisi:

"Islam = a path to destruction and violence",
"Islam = uncivilized = chopping off hands, heads",
"Islam = harem = slavery = barbaric",
"Muslims = lazy people = idiots = fanatics",
"Muslims = terrorists = lunatics = killers",
"Muslims eager to invade and conquer non-Muslims",
"Muslims fight and kill everyone who disagree with them",
"Islam = Satan's deception!",
"Islam brings Hell on Earth!", etc.

Ada pula yang bertanya: "Where is the 'good fruit' of this 'good tree'? Where is the peaceful society you are always talking about? Are you guys not allowed to live and enjoy a good peaceful life in this world? Are they just fancy talkings and fantasy in writings?"

Semua di atas tidak ada yang baru. Pertanyaan2 yang pernah saya dengar lebih dari 10 tahun yang lalu kini saya dengar kembali. Anehnya akhir2 ini, tidak sedikit orang2 Islam yang membiarkan saja pertanyaan2 di atas tanpa ada usaha kembali menjawab secara seksama dan bijaksana. Lambat laun bukan hanya non-Muslim yang melontarkan pertanyaan macam ini tapi juga generasi muda Muslim yang sehari2nya berinteraksi dengan mereka di negara2 non-Muslim. Melihat kenyataan di depan mata yang ditambahi komentar2 negatif tentang Islam, lambat laun mereka akan berhadapan dengan dilema dan kebimbangan, apa benar Islam ini dari Tuhan? Ataukah benar seperti yang dituduhkan, Islam ini sebenarnya tipuan setan? Tidak mustahil, seorang yang tadinya tampak "extrim" dalam berIslam, bisa berubah 180 derajat, menjadi "extrim" berada di luar Islam...

Sebagai Muslim kita percaya bahwa Islam sebagai agama yang benar yang diturunkan dari Tuhan semesta alam. Mengapa kita percaya Islam benar? Apa dasarnya? "Bukankah ajarannya banyak yang tidak masuk akal dan membuat sengsara banyak orang?" tanya seorang non-Muslim lagi. Pada situasi saat ini, di mana kejadian terorisme di berbagai belahan bumi dituduhkan atas nama Islam, tidak sedikit Muslim yang merasa malu dan bimbang akan kebenaran ajaran agamanya. Adalah merupakan kewajiban setiap Muslim untuk paham dan yakin akan kebenaran iman dalam hatinya, dengan dasar yang solid, tidak dengan dasar yang goyah yang mudah rubuh ditiup berbagai “angin” pemikiran.

Mengapa anda memilih Islam daripada Kristen atau Hare Krisna? Mengapa anda memilih Al Qur'an daripada Bible atau BhagavadGita? Karena analisa pemikiran akal anda sendiri, atau karena mengikuti hati nurani atau perasaan dalam hati? Seorang yang percaya pada kura-kura raksasa yang membawa bumi di punggungnya atau percaya kepada para dewa beranak pinak yang menjelma menjadi raja-raja di bumi, bisa saja merasa imannya membawa ketentraman hatinya, tapi apakah ini berarti iman yang dipercayai benar adanya?

Dalam mencari kebenaran dalam hidup, manusia menggunakan seperangkat panca indera untuk mengamati objek yang ditelitinya, serta menggunakan akal untuk memproses hasil pengamatannya ini. Ketika menganalisa mana agama yang benar, kita menggunakan kedua sarana yang telah diberikan Tuhan ini (Qur’an 17:36). Sungguh merugi orang yang mendasari keimanannya dengan terka2 atau khayalan semata karena masalah keimanan ini berhubungan dengan hidup kita di dunia dan apa yang terjadi setelah mati. Islam mengajarkan kita agar jangan mengikuti terka-terka terutama dalam masalah keimanan (Qur’an 10:36, 53:28, 12:108). Tentunya, setelah kita mencari dan menemukan kebenaran agama yang berasal dari Tuhan, akal kita tunduk kepada Tuhan Sang Pencipta akal itu sendiri. Kita yakin akan kebenaran wahyu sebagai informasi dari-Nya, tidak lagi mendebat atau meragukannya, karena kita akan kembali ke pencarian awal semula. Wahyu inilah yang memberikan cahaya terang kepada penggunaan akal kita (Qur'an 22:8).

Sedikitnya ada enam alasan dasar yang biasa saya ajukan ketika ditanya non-Muslim mengapa saya memilih Islam:

1. Authentic: Kemurnian kitab suci dan sumber ajarannya.
2. Rational: Dasar ajarannya berdasarkan akal sehat.
3. Moral: Ajarannya mengenai kebaikan dan keadilan.
4. Functional: Ajarannya berfungsi dan bermanfaat.
5. Universal: Ajarannya untuk setiap bangsa dan zaman.
6. Miraculous: Mu'jizat ayat2 kitab sucinya.

Berikut beberapa pertanyaan yang sering dilontarkan yang berhubungan dengan alasan2 dasar di atas:

1. Kalau terbukti sumber2 Islam (Al Qur'an dan Hadits) tidak murni atau otentik, berarti Islam bukan agama yang benar?

Suatu agama yang mendasarkan keyakinan dan ajarannya pada suatu kitab yang tidak jelas asal-usul dan kemurniannya, tidak akan saya anggap sebagai agama yang benar. Apa bedanya agama tsb dengan ajaran filsafat manusia seperti Plato, Socrates, Confucius, dlsb? Yang menjadi pokok ajarannya adalah ide filsafat itu semata, tidak peduli dari mana ide itu berasal, dari Tuhankah atau dari akal manusia. Bagi mereka yang menginginkan agama dari Tuhan tentunya asal usul agama sangat penting untuk diketahui.

Kita sering mengklaim isi Al Qur'an tetap murni, tidak pernah berubah sejak zaman Nabi hingga kini. Begitu pula hadits yang bisa diverifikasi kemurniannya dari generasi ke generasi. Tapi apa dasarnya yang bisa kita berikan kepada non-Muslim yang mempertanyakan klaim ini?

Kemurnian Al Qur’an bisa dibuktikan melalui adanya catatan-catatan historis berupa manuskrip2 kuno, serta riwayat2 dalam banyak kitab sirah dan hadits yang ditulis melalui rantai periwayatan sejak masa hidup Nabi dan para shahabat beliau, yang bisa dicheck alurnya dari orang ke orang, ditambah dengan adanya tradisi penghapalan seluruh isi Qur’an dalam setiap generasi sejak zaman Nabi yang dijaga melalui bacaan setiap shalat, khatam tadarusan setiap bulan khususnya Ramadhan, dan program penghapalan di sekolah-sekolah Islam, sehingga sampai sekarang pun masih bisa dijumpai banyak orang yang menghapalnya di luar kepala.

Kalau ada suatu agama yang mengklaim memiliki kitab suci dari Tuhan yang mengajarkan ajaran kebaikan tapi sumber2 ajarannya sudah tidak jelas sejarahnya, apalagi terbukti tidak murni lagi isinya, tentu kredibilitasnya dipertanyakan. Tetapi sebaliknya, kalau ada agama yang memiliki sumber yang authentic (belum diubah2), tidak bisa langsung disimpulkan agama itu benar dan berasal dari Tuhan, tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lainnya.

2. Mengapa kebenaran Islam didasarkan kepada rasionalitas ajarannya? Bukankah keimanan dan tata cara ibadah tidak bisa dijelaskan oleh akal?

Yang membedakan manusia dengan hewan adalah akal sehatnya, yakni kemampuan berpikir secara logis. Sebagian besar keputusan dalam hidup kita berasal dari proses pemikiran akal. Kita memilih A bukan B, tentu berdasarkan alasan (reason). Consistency (tidak ada pertentangan di dalam ajaran agama) dan factuality (kesesuaian isi ajaran dengan fakta) adalah dua alasan yang bisa kita jadikan dasar ketika melihat rasionalitas ajaran suatu agama.

Bila ayat-ayat Al Qur'an jelas2 saling bertentangan (mengandung kontradiksi/inkonsistensi), tentu orang berakal sehat tidak mau menerima Islam sebagai agama yang benar. Al Qur’an sendiri mengajak pembaca yang meragukannya agar mencari pertentangan di dalamnya (Qur’an 4:82). Selain itu, bila ada ayat-ayat dalam Al Qur'an isinya berlawanan dengan fakta-fakta di dunia nyata, misalnya mengatakan bumi ini datar/ceper seperti uang koin, orang berakal sehat kembali mempertanyakan kebenaran ajaran Islam (Qur’an 41:53).

Hal ini berbeda dengan ajaran konsep keimanan dan aturan peribadatan yang tidak dapat dibuktikan kesalahannya karena sifatnya yang masih ghaib/misteri (berada diluar jangkauan ilmu empirik manusia yang didasarkan kepada observasi dan proses pemikiran), seperti apa yang terjadi sesudah mati (akhirat), mu’jizat, keadaan alam lain (malaikat, jin), atau aturan ibadah yang secara pintas menurut akal tidak dimengerti maksudnya, hanya bisa direnungkan kemungkinan hikmah-hikmahnya.

Misteri adalah sesuatu yang tidak bisa diverifikasi karena keterbatasan kemampuan observasi kita sebagai manusia, lain halnya dengan irrational yang mengandung logical contradiction. Misalnya, keyakinan “Tuhan itu Maha Kuasa tapi Dia itu juga lemah”, akan dinilai salah oleh akal sehat karena ada kontradiksi di dalamnya. Serupa dengan keyakinan “A itu 100% Tuhan tapi juga 100% manusia” atau “Tuhan itu Maha Esa, tapi Tiga pada saat yang sama”. Meskipun Zat Tuhan merupakan misteri yang tidak bisa dijangkau akal kita, keyakinan2 seperti ini bisa disebut irrational, karena adanya kontradiksi di dalamnya. Tuhan yang tidak diciptakan tidak sama dengan manusia yang diciptakan, dan Satu itu bukan Tiga.

Beda dengan keyakinan terhadap peristiwa mu’jizat2 para Nabi, seperti Isra’ Mi’raj misalnya. Tidaklah mustahil (bisa diterima oleh akal manusia) bahwa Tuhan yang Maha Kuasa tentu mampu memberangkatkan hamba-Nya dengan suatu "teknologi" yang saat ini tidak terjangkau oleh teknologi manusia. Tidak ada kontradiksi di dalam keyakinan seperti ini, sehingga ia bukan merupakan suatu yang irrational atau ditolak akal.

3. Kalau ajaran Islam tidak memiliki nilai-nilai moralitas/kebaikan, apakah berarti Islam itu salah?

Suatu agama yang kitab sucinya masih belum berubah isinya, rasional ajarannya, tapi tidak bermoral, bukanlah suatu agama yang akan diminati oleh setiap orang yang masih memiliki nilai-nilai kebaikan dalam hatinya. Kalau Islam mengajarkan kejahatan, memperkosa, merampok, menzalimi dan membunuh orang yang lemah dan tak bersalah, mengajarkan seorang anak untuk durhaka kepada orang tua yang melahirkan dan membesarkannya sejak kecil, buat apa kita bersusah payah menyiksa hati nurani ini dengan menganutnya?

Islam diturunkan Tuhan pencipta manusia sesuai dengan fitrah manusia yang tidak bertentangan dengan hati nurani yang bersih (Qur'an 30:30). Pada awalnya, hati nurani ini mampu menilai baik dan buruk suatu perbuatan (Qur’an 91:7-8), tapi dalam perjalanan hidup manusia, ia bisa ditekan, dipaksa oleh nafsu untuk "tutup mulut", atau bersembunyi karena pemiliknya terbiasa berbuat hal yang ditentangnya (Qur’an 83:14 , 22:46). Karena hilangnya suara asli nurani ini sehingga banyak ketidakjelasan dalam menilai mana benar mana salah, mana baik dan mana buruk, agama diturunkan Tuhan Pencipta manusia untuk mengingatkan hati nurani manusia kembali akan nilai2 asli yang disuarakannya akan kebaikan dan keburukan (Qur’an 7:172-173).

Sumber-sumber Islam (Al Qur’an dan Hadits) banyak menjelaskan ajaran-ajaran Islam tentang kebaikan dan kasih sayang, baik terhadap terhadap orang tua, anak-anak, sesama manusia (Qur’an 2:117, 4:36, 17:31-37), bahkan terhadap mereka yang berbeda agama (Qur’an 60:8-9), dan alam sekitar (Qur’an 11:61). Nabi pun diutus Tuhan untuk menyempurnakan budi pekerti sebagai rahmat bagi semesta alam (Qur’an 21:107, HR.Ahmad).

Dalam misinya menyebarkan kebaikan dan rahmat pada umat manusia, Islam diturunkan dengan kriteria yang membedakan perbuatan baik dan buruk (Qur’an 25:1) serta konsep keadilan (Qur’an 4:135, 5:58). Muslim diajarkan berbuat baik terhadap sesama tapi mereka juga diajarkan untuk tidak akan diam melihat kezaliman di depan mata (Qur’an 3:110). Sayangnya sikap tegas Islam terhadap kezaliman/kejahatan dalam penegakan keadilan ini sering dituduh sebagai sikap sewenang2 dalam bentuk kekerasan oleh orang-orang non-Muslim yang hanya peduli pada pelaku kejahatan tapi tidak peduli kepada korban kejahatan itu sendiri. Islam jelas melarang sikap zalim dan penyebaran kerusakan di muka bumi (Qur’an 26:183). Terorisme jelas dilarang dalam Islam dan hukum peperangan jelas dipaparkan dalam sumber2 Islam (Qur’an 17:33, 22:39, 2:190-192). Nabi sebelum pergi ke medan peperangan jelas2 melarang membunuh mereka yang tidak berperang, termasuk di dalamnya wanita, anak2, dan orangtua (HR.Bukhari).

Mereka yang menuduh Islam disebarkan dengan pedang dan bernafsu ingin menghabisi semua non-Muslim, seharusnya mempelajari lagi sejarah dunia yang terbentang di depan mata. Sebagai bukti tak terbantahkan, negara2 berpenduduk Muslim di Asia Tenggara, seperti Malaysia, Singapura, dan Indonesia yang kini mayoritas penduduknya Muslim, tidak pernah mengenal adanya invasi militer dahulu kala yang memaksa penduduknya masuk Islam. Sebaliknya sejarah mencatat sejarah kelam di Andalusia, Spanyol, ketika orang2 Islam dan Yahudi dipaksa murtad atau dibantai oleh penguasa Nasraninya dengan program Inquisition-nya. Sejarah mencatat pula berapa banyak orang2 Yahudi dari Spanyol karena ancaman Inquisition yang melarikan diri dan tinggal dalam kekhalifahan Islam.

Perbuatan penganut suatu agama tidak selalu berarti diajarkan dalam agamanya sendiri. Bila ada orang berbuat kezaliman dan kebetulan ia beragama Islam, janganlah Islam yang disalahkan. Apakah orang Nasrani rela kalau agamanya dituduh sebagai penyebab penjajahan dan perbudakan di muka bumi? Ataukah mereka rela kalau disamakan dengan Nazi karena Hitler kebetulan beragama Nasrani? Begitu pula pemeluk agama Yahudi, apakah mereka rela kalau agamanya dituduh sebagai penyebab pembantaian rakyat yang tak berdosa di Palestina? Dalam menilai hal yang sama, standar yang digunakan harus sama pula, bukan dengan standar ganda (double standards).

4. Kalau ajaran Islam tidak ada fungsinya dan tidak membawa manfaat, apakah Islam harus ditinggalkan?

Jelas kalau ada ajaran suatu agama yang kalau diterapkan akan membawa kepada kesengsaraan pada umat manusia, agama tersebut akan dipertanyakan kebenarannya. Contohnya, bila ada agama yang mengajarkan celebacy (tidak menikah) kepada pemeluknya, manusia tentunya sudah lama punah kalau mereka memeluknya.

Islam menempatkan manusia sebagai hamba ciptaan Tuhan yang tidak hanya memiliki aspek spiritual tetapi juga aspek fisikal. Islam mengajarkan pemeluknya untuk mencari kebahagian tidak hanya di akhirat tetapi di dunia ini tempat mereka hidup di bumi (2:201, 28:77). Islam tidak hanya menjelaskan latar belakang kita diciptakan sebagai manusia untuk hidup di dunia dan akhirat (2:30), tetapi juga petunjuk dalam mengarungi kehidupan. Tanpa informasi dari Pencipta manusia itu sendiri, manusia tidak tahu pasti akan arah dan tujuan hidupnya (Qur’an 51:56, 2:39). Tanpa adanya tujuan dan petunjuk hidup yang jelas, tidak ada standar penentu kebaikan dan keburukan, pada akhirnya akan terjadi kekacauan dimuka bumi (Qur’an 23:71).

Islam bukanlah agama baru yang muncul di dunia Arab 1400-an tahun yang lalu, tapi merupakan agama dari generasi ke generasi sejak diciptakan manusia pertama di muka bumi (Qur’an 2:213, 2:136, 13:30). Ia merupakan sistem yang komprehensif yang mencakup segala aspek kehidupan mulai dari urusan tingkat individu, keluarga, masyarakat bahkan negara. Dari hal yang mengatur hubungan dengan Tuhan (peribadatan, aqidah) dan hubungan dengan sesama manusia (akhlaq, muamalah). Dari urusan kebersihan, kesehatan, makan dan minum, pakaian, rumah, pendidikan, perniagaan/ekonomi, sosial, budaya, dlsb (Qur’an 13:28, 2:222, 2:168, 7:26, 28:71-73, 3:190, 35:28 3:112, 30:21, 49:13, dll).

Dengan Islam, masyarakat Arab jahiliah yang tidak beradab di zaman Nabi berhasil diubah menjadi masyarakat yang beradab dan mulia sampai pernah mencapai peradaban yang gemilang beratus abad lamanya dan maju dalam berbagai bidang keilmuan, hingga pernah menjadi kiblat peradaban bangsa-bangsa lain. Fakta ini sering dilupakan atau mungkin sengaja tidak disebut-sebut oleh orang-orang non-Muslim yang sering membawa hujatan-hujatan terhadap Islam.

5. Kalau ajaran Islam itu tidak universal, apakah harus ditinggalkan?

Suatu agama yang jelas2 disebut di dalam kitab sucinya bahwa ajarannya hanya diperuntukan kepada orang2 di suatu daerah tertentu atau pada masa tertentu, tidak akan applicable (dapat dipraktekkan) oleh orang-orang di daerah lain atau pada masa yang berbeda. Kalau kita orang Indonesia, sedangkan Islam dikhususkan untuk orang-orang Arab saja, mengapa lagi repot2 menganutnya? Begitu pula, kalau memang Islam menyebutkan ajarannya diperuntukkan hanya untuk sekelompok orang di zaman diturunkannya ribuan tahun yang lalu, mengapa harus menerapkan ajarannya di zaman modern yang sangat berbeda situasinya ini?

Kita anut Islam, karena sumber2 Islam (Al Qur’an dan Hadits) sendiri jelas menyebutkan ajarannya diperuntukkan untuk semua bangsa, tidak hanya orang Arab saja (Qur’an 4:1, 49:13) dan berlaku sampai akhir zaman (Qur’an 5:3, HR. Bukhari), tidak hanya untuk orang-orang di zaman ketika Nabi masih hidup saja (berdasarkan banyak pesan Nabi terutama dalam khutbah terakhir beliau). Meskipun garis-garis besar ajarannya telah termaktub di dalam dua sumbernya yakni Al Qur’an dan Hadits, pada situasi dan kondisi tertentu yang tidak ditemukan dasarnya di dalam kedua sumber tsb, upaya ijtihad (dengan perangkat ushul fiqh dan ilmu-ilmu lainnya) terbuka untuk dilakukan demi kemaslahatan umat manusia di mana saja dan kapan saja.

6. Apa kriterianya ayat2 suatu kitab suci bisa disebut sebagai suatu mu'jizat?

Kalau ada kitab suci yang diklaim sebagai wahyu dari Tuhan semesta alam yang ilmu-Nya jauh melampaui ilmu yang dimiliki manusia, tetapi isinya tidak berbeda atau dapat ditandingi dengan buku2 tulisan manusia, apa istimewa dan buktinya kitab suci ini dari Tuhan? Ayat2 Al Qur'an tidak hanya tinggi nilainya dalam keindahan sastra balaghahnya, tetapi juga dalam isinya. Dalam Al Qur'an (2:23-24), kita bisa jumpai tantangan terhadap orang2 yang meragukannya untuk membuat satu surat saja yang semisal dengannya. Dalam sejarah kita jumpai orang2 yang berusaha membuat ayat2 untuk menandingi Al Qur'an tetapi mereka gagal bahkan mengakui kegagalannya sendiri. Sejarah mencatat adanya orang2 yang paling ahli dalam sya'ir di zaman Nabi yang memeluk Islam setelah mencoba membuat sya'ir tandingan Qur'an tetapi kemudian mengakui kalah dengan ketinggian nilai sastra Al Qur'an (Sirah nawabiyyah, HR. Bukhari, HR. Muslim).

Dalam ayat lain (Qur’an 4:82) Al Qur'an menantang orang yang meragukannya agar menemukan kontradiksi2 di dalamnya untuk membuktikannya bukan berasal dari Tuhan (menarik untuk diketahui dari ribuan ayat Qur'an, kata "ikhtilafan", yang berarti "kontradiksi", yang digunakan dalam ayat tsb, hanya bisa ditemukan dalam satu lokasi yaitu dalam ayat itu sendiri!) Akhir2 ini bisa kita jumpai usaha2 misionaris2 Nasrani untuk menunjukkan banyak kontradiksi di dalam Al Qur'an. Kalau kita lihat tuduhan2 mereka, semua tuduhan tersebut tidak bisa dikatakan kontradiksi karena berbicara mengenai hal yang berbeda, atau dijumpai dalam konteks yang berbeda. Ada baiknya mereka mempelajari tuduhan2 mereka terlebih dahulu sebelum melontarkannya.

Al Qur'an memuat berita2 yang mengandung prediksi atau ramalan terhadap event yang akan terjadi, yang sebagian telah terbukti terjadi di zaman Nabi. Beberapa di antaranya adalah peristiwa menangnya Romawi terhadap Persia (30:1-5), penaklukan kota Mekkah (24:55), kemenangan kaum Muslimin dan berkuasanya mereka di muka bumi (24:55). Ketika dibacakannya ayat2 ini, mereka yang memusuhi Nabi mentertawai dan bahkan berani bertaruh bahwa ramalan tersebut tidak akan terjadi, sejarah mencatat ramalan2 ini sebagai suatu kebenaran yang benar2 terjadi.

Selain memuat berita2 mengenai status manusia sebagai ciptaan Allah SWT, asal usul manusia, tujuan mereka diciptakan di dunia, dan akan kemana mereka nanti setelah mati, Al Qur'an juga berisi ayat2 yang mengandung isyarat tanda2 kekuasaan Allah SWT yang bisa diobservasi oleh manusia di alam ini. Meskipun ilmu pengetahuan (sains) manusia terus berkembang dari masa ke masa dengan ditemukannya berbagai teknologi, ayat2 Al Qur'an tetap bisa diterima oleh manusia sejak dari zaman diturunkannya hingga zaman sekarang ini meskipun pemahaman sains mereka berbeda. Al Qur'an menyinggung apa2 yang ada di bumi (laut, daratan, gunung2, sungai), di atmosfir (awan, hujan, petir, badai, lapisan oksigen), dan di langit (bulan, matahari, planet, bintang, galaxy). Al Qur'an berbicara tentang makhluk2 ciptaan Allah yang hidup di muka bumi (manusia, jin, tumbuh2an, hewan), juga di luar bumi (Al Qur'an 42:29).

Akhir2 ini Al Qur'an membuat takjub banyak orang, Muslim dan non-Muslim, karena kesesuaian ayat2nya dengan sains saat ini yang masih belum ditemukan 1400 tahun yang lalu di zaman Nabi. Seperti Al Qur'an menjelaskan asal usul penciptaan alam semesta (21:30), pengembangan alam semesta (51:47), rotasi dan revolusi bumi (27:88), bulan dan matahari (21:33), kemungkinan penjelajahan angkasa (55:33), proses sequential penciptaan manusia (23:12-16), proses angin dalam penyerbukan tumbuhan (15:22), pembentukan formasi gunung2 sebagai penahan goncangan dari dalam bumi (31:10), adanya layer atmosfir yang memprotek bumi (21:32), komunikasi dunia hewan (27:18, 6:38), dlsb. Seperti kita tahu Nabi SAW bukanlah seorang scientist yang mendedikasikan hidupnya untuk penelitian dalam dunia sains. Hidup beliau penuh dengan suka duka perjuangan da'wah menyebarkan pesan2 Islam kepada manusia mengenai Allah SWT, serta makna dan tugas hidup mereka agar bisa hidup bahagia di dunia dan akhirat. Hal ini cukup untuk menjadi bukti mu'jizat ayat2 Al Qur'an yang tidak mungkin ditulis oleh beliau sendiri atau dibantu oleh manusia2 lain, sejak dulu hingga kini.

Dan orang-orang kafir Mekah berkata: "Mengapa
tidak diturunkan kepadanya mu'jizat-mu'jizat dari
Tuhannya?" Katakanlah: "Sesungguhnya mu'jizat-
mu'jizat itu terserah kepada Allah. Dan sesungguhnya
aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata.

Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya
Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab Qur'an
sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya
dalam Al Qur'an itu terdapat rahmat yang besar
dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.

(Al Qur'an 29:50-51)

Wallahu'alam.

Sekilas mengenai kebenaran

Rasa ingin tahu tentang arti dan tujuan hidup mendorong banyak orang mencari jawaban terhadap banyak hal. Dalam usahanya mencari jawaban dari suatu pernyataan, manusia berhadapan dengan konsep kebenaran. Tapi apa sebenarnya kebenaran itu? Definisi setiap orang bisa berbeda2, tergantung konteks apa yang dibicarakannya. Tapi secara umum, suatu pernyataan itu dibilang BENAR bila:

1. Faktual (tidak ada pertentangan antara statement and realitas/fakta yang bisa di-observasi).
Contohnya, kalau ada orang yang mengeluarkan statement bahwa "Si A sudah lulus PhD", sedang faktanya tidak demikian halnya, maka statement tsb bisa dibilang tidak benar.

2. Logical (tidak ada mengandung fallacy/kesalahan logika di dalamnya, seperti inkonsistensi/kontradiksi).
Contohnya: Si A bilang Tuhan itu satu. Si B bilang Tuhan itu banyak. Kedua statements ini tidak bisa dibilang dua2nya benar, karena saling bertentangan. Hanya ada satu yang benar, atau dua2nya salah.

Dalam usahanya mencari kebenaran, manusia menggunakan perangkat panca indera dan akalnya. Panca indera digunakan untuk melakukan observasi, sedang akal digunakan untuk mengelola data2 yang didapat dari observasi. Karena observasi ini tergantung kepada kemampuan panca indera manusia yang terbatas, manusia membuat teknologi untuk membantu proses observasi ini. Hasil dari proses akal menganalisa data2 observasi bisa menghasilkan suatu teori. Suatu teori bisa dibuktikan kesalahannya oleh teori lainnya karena beberapa faktor: kesalahan dalam pengumpulan data, teknologi yang dipakai tidak secanggih teknologi digunakan teori lain (data2nya tidak seakurat data2 yang lain), atau kesalahan dalam analisa/proses berpikir yang digunakan. Dalam hal2 yang tidak bisa dijangkau observasi, meskipun dibantu oleh teknologi, dunia filsafat pun dimasuki.

Contohnya orang yang melihat hujan. Dia melihat air turun dari langit dengan inderanya (observasi). Berdasarkan dari pengetahuan sebelumnya (mungkin akibat pernah melihat ember yang bocor), logikanya berpikir bahwa "sumber air di langit yang bocor sehingga tumpah ke bumi". Dengan ditemukannya teknologi yang membantu observasi, hipotesa ini diteliti, diverifikasi, dan disupport dengan experiment, kemudian disimpulkan suatu teori perputaran air (water cycle): air di bumi yang terkena panas matahari diserap naik ke atas menjadi awan, kondensasi, turun hujan dan seterusnya seperti lingkaran/cycle. Dengan majunya teknologi, teori ini bisa diverifikasi kembali dan dikonfirmasi bahwa di alam memang benar ada water cycle ini. Lalu akal bertanya lagi: kenapa bisa terjadi cycle ini? Dari mana asalnya? Akal stop tidak bisa menerangkan lagi. Manusia beralih ke filsafat, ada yang bilang itu Tuhan yang menciptakannya (filsafat spiritualisme), ada pula yang bilang itu ada dengan sendirinya di alam (filsafat materialisme).

Contoh lainnya, orang melihat orang mati. Berdasarkan informasi indera, mati ini tidak bergeraknya badan dan berhentinya denyut jantung. Dengan menggunakan experiment, ilmu kedokteran menjelaskan bahwa semua function dari tubuh manusia berhenti. Akal bertanya lagi, mengapa bisa berhenti? Ada apa setelah mati? Apa ada kehidupan lagi? Akal stop sampai di sini. Tidak ada yang bisa menjelaskan secara logis karena tidak ada data observasi.. Satu2nya cara, scientist harus mematikan diri dan membawa catatan/recorder seperti camera dllnya untuk mengetahui hal sebenarnya setelah mati. Sayangnya setelah mati, si scientist tidak balik lagi membawa laporannya... :-) Filsafat pun kembali di masuki. Yang satu bilang ada kehidupan setelah mati, ruh manusia akan tetap hidup dan menjalani fase kehidupan selanjutnya, kembali ke Penciptanya (filsafat spiritualisme). Yang lain bilang manusia setelah mati, tubuhnya berbaur ke tanah, tidak ada ruh, tidak ada kehidupan lagi (filsafat materialisme). Mana yang benar? Pengetahuan manusia tidak bisa menjawabnya secara pasti. Yang ada hanya terka2, spekulasi. Bagaimana caranya mendapatkan jawaban yang pasti? Informasi ini hanya bisa didapat dari Tuhan pencipta manusia itu sendiri (wahyu). Wahyu memberikan informasi kepada kita dari mana asal kita, mengapa kita di sini, dan akan kemana kita nanti setelah mati.


Al Qur'an menyinggung mengenai hal ini:

"Sesungguhnya di antara manusia ada orang2
yang memperdebatkan Allah, tanpa ilmu (reason),
tanpa petunjuk (observation), tanpa kitab yang
memberikan cahaya (wahyu)" (Al Qur'an 22:8)

Kalau kita buka catatan2 sejarah, kita bisa temukan di dalamnya catatan2 peradaban manusia yang tidak pernah absen dari agama2. Sekarang apakah semua agama yang mengklaim memiliki wahyu dari Tuhan benar adanya? Kalau berdasarkan definisi kebenaran di atas, karena terdapat statement2 dalam agama2 tsb yang saling bertentangan terhadap hal yang sama, tentunya akal kita menolak kebenaran semuanya. Ada agama yang bilang Tuhan itu satu, dua, tiga bahkan ada yang bilang banyak. Ada yang bilang Tuhan itu personal, ada yang bilang tidak. Ada yang bilang setelah mati manusia bereinkarnasi, dan ada pula yang bilang ia kembali kepada pencipta-Nya tanpa mengalami reinkarnasi. Lalu bagaimana menganalisa semua klaim2 ini? Mana yang benar? Apakah bisa kita menggunakan observasi dan akal dalam meneliti kebenaran agama?

Lanjutannya insya Allah di posting mendatang...

Wallahu'alam.

Anak muda dan kerangka berpikir


Dalam era globalisasi modern seperti zaman sekarang ini di mana internet bisa diakses oleh siapa saja dari berbagai penjuru dunia, banyak anak muda yang terekspos dengan berbagai pemikiran dan pandangan hidup yang berbeda2.

Dampaknya di era globalisasi ini, banyak anak2 muda yang kritis terhadap agama mereka sendiri. Mereka tidak segan2 mempertanyakan keimanan dan aturan2 dalam agama yang mungkin tidak pernah ditanyakan oleh generasi2 sebelum mereka.

Sayangnya pelajaran agama yg mereka dapati di sekolah tampak tidak begitu menanggapi masalah ini. Berdasarkan pengalaman sejak SD sampai SMA dahulu, pelajaran2 agama di sekolah lebih bersifat kepada doktrin dan sangat sedikit (kalau bisa dibilang ada) yang membahas kerangka berpikir dalam menyikapi pertanyaan2 terhadap masalah keimanan dan aturan2 agama.

Semasa kuliah dulu, ketika tinggal dengan beberapa roomates non-Muslims, saya dihadapkan kepada banyak pertanyaan2 yang tidak pernah saya dapatkan sebelumnya. Roomates saya dulu ada yang atheist (tidak percaya adanya Tuhan), ada yang agnostic (tidak peduli ada tidaknya Tuhan, tidak perlu beragama yang penting berbuat baik), dan ada pula yang berbeda agama dan keyakinan (Christians).

Misalnya pertanyaan dari atheist ("Why do you believe in God that cannot be seen?", "Why do you believe in a God that creates evil in the world?", "How can a Loving God send people to Hell and torture them forever?"), dari agnostic ("Why are you so sure that God sent down His revelation to us on this small earth in this vast universe?", "Isn't it possible God of all religions infact an alien from outer space with much more advanced technology than us who wants to control over us?"), maupun dari yang beda agama ("Why are you guys not so sure about going to heaven like us who accept Jesus died for our sin?", "Why do you believe in the Arabian Prophet who came 600 years later after Jesus?"). Dan masih banyak lagi pertanyaan2 mengenai Tuhan dan kenabian lainnya.

Pertanyaan2 lainnya berhubungan dengan masalah ibadah dan aturan2 beragama diamati mereka ("Why do you have to wash/ablution repeatedly 3-3 times?", "Why do you have to pray 5 times a day?", "Why do your women have to wear hijab in hot summer days? Will they go to hell if they take their hijab off?", "Why do you have to face and worship Ka'bah, the black cube?", "Why do you have to say your prayer in Arabic, does your God only know Arabic?", "Why do you have to suffer fasting in Ramadan not eating or drinking for many hours?", "Why does God punish people just for drawing animals and humans?", "Why are angels scared of dogs?"). Dan masih banyak lainnya.

Belum lagi kalau ada peristiwa2 yang terjadi di Middle East yang diberitakan di media massa... "Look, Muslims are killing innocent people again!", "Are Muslims not allowed to live peacefully with people of other faith?", "Aren't you somewhat embarrassed to profess this faith that has spilled so much blood in its history?", etc.

Mungkin pertanyaan2 atau komentar2 seperti di atas tidak pernah terdengar di tanah air yang mayoritas penduduknya Muslims, sehingga tidak ada atau masih sedikit usaha dari para ustadz atau pihak pengajar agama untuk menanggapinya. Mungkin menurut banyak da'i di Indonesia, buat apa buang2 waktu menjawab pertanyaan2 yang aneh2 macam itu, masih banyak urusan umat yang real, yang harus diperbaiki. Para da'i seharusnya sadar akan realitas dawah dalam era globalisasi saat ini dan siap menghadapi pertanyaan2 yang mungkin sebelumnya tidak pernah muncul atau tidak berani ditanyakan oleh generasi2 zaman mereka.

Mungkin dulu kita kalau bertanya mengenai banyak hal berkenaan dengan keimanan akan dicap "kafir" oleh ustadz kita, tapi di zaman sekarang, banyak anak2 muda yang tidak mau menerima begitu saja doktrin agama tanpa penjelasan yang masuk akal mereka. Pertanyaan2 macam ini cepat atau lambat akan keluar juga dari anak2 muda di berbagai pelosok di tanah air akibat era globalisasi di mana pertukaran informasi di bumi cepat sekali terjadi dan tidak bisa dihindarkan lagi.

Kalau kurikulum pendidikan agama yang mereka dapati di sekolah tidak mampu menanggapi masalah ini, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi:

1) banyak anak2 muda ini yang menjadi ragu terhadap agama, dan bila keragu2an ini lambat laun menumpuk, mereka tidak segan2 menyatakan diri keluar dari agama atau bahkan mencela agama,

2) anak2 muda ini akan mencari sumber2 informasi dari luar sekolah yang mereka anggap mampu menjawab pertanyaan2 mereka. Informasi dari luar ini mungkin saja dapat memuaskan keingintahuan mereka dalam pemahaman terhadap agama, yang mungkin mengantarkan kepada pemahaman yang benar, tapi mungkin pula kepada pemahaman yang salah yang dapat melahirkan sikap ekstrim dalam beragama, atau sebaliknya mungkin malah membuat mereka tambah ragu, keluar dan memusuhi agama.

Pandangan anak2 muda terhadap agama umumnya dipengaruhi oleh tingkah laku orang2 tua (terutama para ulama atau ustadz) yang mereka anggap merupakan contoh "ideal" dari orang yang paham atau ahli agama. Ketika ada orang tua atau ulama yang melakukan sesuatu yang tidak mereka sukai, image agama orang tsb turut menjadi buruk dalam pandangan mereka. Kekaguman mereka terhadap seorang ustadz misalnya berubah menjadi kebencian (bukan hanya terhadap sang ustadz tapi juga terhadap agamanya) setelah mengetahui "kekurangan" dari ustadz tsb. Karena itu tidak aneh kalau ada anak muda yang KTPnya Islam berkomentar "Ah agama apaan tuh, ngajarinnya cuma kawin melulu!", "Ah orang Islam banyak yang korup!", "Nggak usah capek2 lah belajar agama, tuh lihat orang yang ahli agama aja tingkah lakunya seperti itu!" - ini semua akibat kecewa melihat kelakuan orang2 yang sebelumnya mereka idolakan. Tidak sedikit orang yang menilai suatu agama dari perbuatan pemeluk2nya, one or few people are wrong, blame all.

Bisa jadi juga kekecewaan mereka timbul akibat melihat pertikaian yang tidak kunjung habis antara intern pemeluk agama sendiri, baik perbedaan pandangan dalam masalah aturan agama, atau  banyaknya aliran2 atau sekte2 di dalam agama. Bagi banyak orang mungkin banyaknya paham2 dalam Islam ini membuat mereka bingung, merasa frustrasi dalam memahami dan mengyikapi perbedaan2 yang ada ini. "Islam yang mana?" menjadi pertanyaan yang tidak asing lagi di telinga kita. Tiap2 pandangan yang berbeda sama2 berusaha mendasarkan pandangannya dengan Qur'an maupun hadits Nabi. "Islam warna-warni", "Islam multi-interpretasi", "jangan mengklaim kebenaran sendiri", dll, juga sering terlontar secara apriori tanpa ada usaha melihat dan menganalisa setiap pandangan yang berbeda ini.

Lalu bagaimana mengatasi permasalahan ini?

Masalah ini sebenarnya bersumber dari kesalahan dalam berpikir dan berargumentasi. Ada baiknya kerangka dasar berpikir dan berargumentasi yang benar dipahami oleh setiap Muslim terutama para generasi muda dan para dai, sehingga mereka dapat memahami dan menyikapi dengan baik berbagai pandangan yg berbeda dengan bermacam argument yang banyak ditemui dalam pergolakan pemikiran (ghazwul fikr) berbagai paham, seperti atheism, agnosticism, liberalism, extremism, islamophobic, dlsb.

Sebenarnya para ulama kita sejak dulu dalam membahas masalah2 agama, baik itu dalam hal ushul fiqh, ibadah, aqidah, maupun muamalah, selalu menggunakan metode2 maupun kerangka berpikir yang bisa dijumpai dalam kitab2 mereka. Para Imam seperti Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i, dll,  sering menggunakan argumentasi logis mereka dalam menjawab pertanyaan2 sulit di jamannya. Sayangnya kita amati cara berpikir seperti ini kini sering hilang dalam argument2 orang Islam ketika menyikapi pendapat yang berbeda, sering kali lebih terasa nada emosionalnya daripada bobot argumentnya. Bahkan sebagian orang tanpa berpikir jauh menganggap buruk dan mengharamkan usaha mempelajari kerangka berpikir ini, bahkan menganggapnya metode orang kafir yang tidak dikenal dalam Islam, sehingga tidak sedikit muslim yg dibuat tidak bergairah sehingga hilang kemampuan mereka untuk berpikir dan berargumentasi secara logis.

Kerangka berpikir sebenarnya dibuat untuk menghindari kesalahan2 dalam berargumentasi (biasa disebut "fallacy"). Beberapa contoh fallacy ini antara lain:

1. "Inconsistency": Contohnya si A bilang "Sirah dan hadits tidak bisa dipercaya karena banyak isinya yang tidak masuk akal". Tapi ketika A ditanya dari mana ia tahu adanya seorang Nabi yang bernama Muhammad, atau dari mana ia tahu Qur'an yang ia percayai terjaga kemurniaannya sejak zaman Nabi sampai sekarang, bila si A menjawab dengan basis sirah dan hadith, ini namanya inkonsistensi. Kalau tidak percaya sirah dan hadits, mengapa masih dipakai untuk dasar keimanannya?

Contoh lainnya adalah sikap sebagian orang yang ketika menghujat Nabi SAW dengan leluasa menggunakan cuplikan2 hadits dan sirah sesukanya (Nabi berpoligami, kisah2 dalam peperangan beliau, dlsb). Tapi ketika ditunjukkan hadits dan sirah dari sumber yang sama, yang menunjukkan tanda2 kenabian Nabi seperti mu'jizat2 beliau, mereka berkomentar bahwa hadits dan sirah tidak bisa dipercaya karena dibukukan jauh sesudah Nabi wafat. Kalau tidak bisa dipercaya, mengapa tadi masih dipakai untuk menghujat Nabi?

Contoh lainnya adalah sikap yang membenarkan semua pendapat yang pada kenyataannya jelas2 berbeda. Kalau ada orang yang bilang "Semua interpretasi atau tafsiran agama adalah sah2 saja dan benar adanya karena kebenaran itu relatif sifatnya", maka ia harus bisa konsisten untuk tidak menyalahkan pendapat yang menghalalkan terorisme membunuh orang2 tak berdosa, atau pendapat2 yang menghalalkan sex bebas, incest, dlsb, dengan alasan selama suka sama suka dan tidak merugikan orang tidak ada salahnya. Apakah dua pendapat yang berbeda, yang satu bilang halal, yang lain bilang haram, benar kedua2nya? Kalau kita mau jujur, kita akan mengakui bahwa "logical circuit" dalam otak kita jelas menolaknya.

2. "Incomprehensive": Si A bilang "Orang Islam diajarkan Qur'an ayat 5:51 untuk membenci dan dilarang berteman dengan orang2 non-Muslim." Selain harus memiliki pengetahuan akan makna kata2, context maupun historical perspectives, si A sebelum mengeluarkan penafsirannya akan ayat tsb seharusnya tahu ada ayat2 Al Qur'an lain yang menjelaskan lebih jauh mengenai hal serupa, misalnya 60:8. Pengetahuan yang partial terhadap hal2 ini akan menyebabkan kesalahan dalam mengambil kesimpulan.

3. "Out-of-context": Si A bilang "Dalam Al Qur'an ayat 9:5, orang Islam diperintahkan membunuh orang2 musyrik di mana saja mereka jumpai". Si A seharusnya tahu konteks diturunkannya ayat tsb sebelum mengambil kesimpulan demikian (yaitu peperangan Nabi dengan orang2 kafir Quraisy serta sekutu2 mereka yang memerangi umat Islam saat itu).

4. "Generalization": Ini serupa dengan pepatah "Karena nila setitik rusak susu sebelanga". Si A menuduh Islam sebagai agama teroris karena di antara pemeluk2nya tidak sedikit melakukan aksi terorisme dengan dalih agama. Si A seharusnya tahu bahwa kalau dilihat persentasinya, mayoritas umat Islam adalah umat yang cinta damai dan tetap berpegang teguh pada prinsip2 agama yang jelas2 melarang aksi terorisme. Apakah orang2 di barat rela kalau agamanya dituduh sebagai agama penjajah "gold-glory-gospel" karena perlakuan sebagian kelompok mereka terhadap bangsa2 di dunia?

5. "Double-standard": Si A yang beragama bukan Islam bilang "Islam adalah agama palsu karena Nabinya berpoligami". Padahal kalau dia baca kitan sucinya sendiri, nabi2 dalam agamanya sendiri pun banyak yang berpoligami. Atau si B yang mengutuk pembunuhan orang2 tak bersalah yang pelakunya Muslim sebagai perbuatan terorisme, tapi di lain waktu si B tidak mengutuk pembunuhan serupa yang pelakunya bukan Muslim malah melabelnya sebagai "collateral damage". Dengan menggunakan standard yang sama, pembunuhan orang2 tak bersalah akan selalu dikutuk sebagai tindakan terorisme, tidak peduli siapa korban dan siapa pelakunya.

6. "Straw-man" : menyerang argument yang sudah diubah bentuknya (biasanya dicampur "half-truth" atau "twisted-truth"). Misalnya si A menuduh "Al Qur'an merendahkan status wanita di bawah status laki2". Meskipun dalam Qur'an disebutkan "Laki2 adalah pelindung /pemimpin kaum wanita" ini tidak berarti di dalam Islam status wanita itu lebih rendah dari status laki2 karena masing2 memiliki role/tugas yang berbeda dalam pandangan Allah SWT.

7. "Red-herring" : mengalihkan subject sehingga bukan membahas argument yang tengah didiskusikan, tapi argument lainnya. Misalnya, ketika si A ditanya tentang kontradiksi di dalam kitab suci yang diyakininya, bukannya menjawab pertanyaan tsb, si A malah membawa tuduhan banyaknya kontradiksi di dalam kitab suci orang yang bertanya.

8. "Appeal to authority": Si A bilang ke si B "Argument anda pasti salah karena berlawanan dengan pendapat seorang professor yang ahli dalam bidang ini". Si A sudah men-shut-off the discussion hanya dengan merefer ke authority yang dipercayainya, tanpa menjelaskan argument si professor yang disebutnya tadi.

9. "Ad-hominem" (argument to the man): bukan argumentnya yang dibahas, tapi yang diserang adalah pribadi lawan debat yang tidak berhubungan dengan argument yang didebatkan. Misalnya, "Pendapat si A itu sudah pasti salah karena si A itu tidak pernah sekolah di pesantren", atau "Ah, pendapat si B yang playboy kayak gitu kok dibahas!". Padahal logis tidaknya suatu argument tidak bisa ditentukan dari pribadi orang yang berargument. Dalam beargumentasi, yang harus dilihat adalah argumentnya, jangan diserang orangnya.

Dst.

Kerangka berpikir hanyalah "tool" (framework) yang bisa digunakan dalam proses berpikir kita, yang tidak hanya berhubungan dengan masalah2 agama, tapi juga masalah2 dalam hidup lainnya. Karena hanya general framework untuk proses berpikir, ia bisa dipakai oleh siapa saja. Karena itu sayang kalau ketika berdiskusi dengan orang2 non-Muslim orang2 Islam tidak memahami framework ini. Mungkin dengan mengetahui kerangka dasar dalam berpikir dan berargumentasi macam ini, metode dalam memahami permasalahan dan perbedaan pandangan dalam agama dapat dimengerti, sehingga diskusi2 maupun debat2 dalam memahami agama dapat berjalan dengan baik, dengan menganalisa argument masing2 pihak yang berbeda, tanpa menyerang pribadi, sehingga pertikaian dan perpecahan yang tidak diinginkan bersama bisa dihindari.

Wallahu'alam.

Monday, December 15, 2003

Qur'an tidak asli lagi?

Menanggapi komentar di bawah ini mengenai keraguan terhadap otentisitas Qur'an:

> Selain itu, karena hadits mulai dibukukan setelah
> sekitar 100 tahun kematian Nabi (mis: Imam Bukhori dan
> Muslim membukukan hadits lebih dari 200 tahun setelah
> kematian Nabi), maka kemungkinan pemalsuannya memang
> ada.

Jauh sebelum Bukhari dan Muslim menulis kitab shahih mereka, sudah
banyak hadits2 Nabi yang digunakan para shahabat dan tabi'in dalam
hidup mereka. Imam2 empat mazhab pun (sebelum Bukhari dan Muslim
lahir dan menulis kitab mereka) merefer dasar2 fiqh mereka kepada
hadits2 melalui metode periwayatan/sanad yang sudah dipakai bahkan
sejak Nabi masih hidup. Oral tradition yang berdasarkan kepada
memorization dan disupport some written manuscripts, adalah metode
yang digunakan dalam menjaga reliability suatu hadits. Salah satu
bukti adanya written manuscripts yang digunakan jauh sebelum
ditulisnya shahih Bukhari- Muslim adalah suhuf yang ditulis oleh
murid Abu Hurairah, Humam bin Munabih. Bukhari dan Muslim serta para
Imam ahli hadits lainnya hanya memverifikasi dan mengkategorisasi
status keshahihan banyak hadits2 yang beredar ini berdasarkan
reliability para perawinya berdasarkan kriteria shahih mereka.

Jadi jangan sampai kita beranggapan bahwa hadits baru
ditulis/dibukukan ratusan tahun setelah wafatnya Nabi, seakan2 tidak
pernah exist sebelumnya seperti "barang baru" dalam perjalanan
khazanah intelektual Islam.


> Jika ada isi hadits yang bertentangan dengan
> Qur'an, mereka tak tahu kalau Qur'an lah yang harus
> dituruti.

Dengan catatan: kalau memang terbukti tidak bisa secara logis
diresolved sama sekali kontradiksi ini. Janganlah kita langsung
menyimpulkan demikian tanpa adanya ilmu yang komprehensif terhadap
masalah yang dibicarakan. Banyak kemungkinan penjelasan2 lain yang
mungkin belum kita pikirkan yang bisa digunakan dalam meresolve the
so-called contradiction between a particular verse in the Qur'an and
a particular hadith. Disini dibutuhkan kesabaran dan tidak tergesa2
dalam mengeluarkan suatu judgmental statement tanpa dasar yang kuat.
Ilmu2 mengenai Al Qur'an dan Hadits adalah ilmu yang luas, dalam dan
integral, tidak bisa dipilah2 dan dipilih2 sehingga bisa menyebabkan
kesalahpahaman.


> Saya telah membaca habis Shahih Bukhori, namun tak
> menjumpai satupun hadits yang menyatakan bahwa Qur'an
> tak asli lagi, termasuk berkurangnya ayat surat Al
> Ahzab dari 200 jadi 73 ayat!

Kalau pun misalnya ada ayat2 yang mirip2 maknanya seperti itu, yang
mengatakan bahwa ada ayat2 yang dulu pernah diturunkan tapi kini
tidak ditemukan lagi dalam Al Qur'an, apakah ini berarti Al Qur'an
sudah terkorupsi oleh tangan2 jahil manusia dan tidak pantas
dianggap
sebagai wahyu Ilahi lagi? Apakah tidak ada penjelasan lain mengenai
hal ini?

Kita harus tahu bahwa dalam ulumul Qur'an dikenal adanya konsep
Naskh-
Mansukh, atau penghapusan ayat/pembatalan hukum dalam Al Qur'an oleh
Allah SWT. Ini disebutkan dalam Al Qur'an sendiri:

"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia)
lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?" (2:106)

Untuk lebih jelasnya mengenai hal ini bisa lihat dalam buku
Dr.Quraish Shihab dan Ahmad Von Denffer:
http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Nasikh.html
http://www.witness-pioneer.org/vil/Books/Denffer_uaq/Ch5S3.htm

Dalam suatu hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Thahawi (refer
to Introduction to Sciences of Qur'an by Yasir Qadhi) disebutkan
seorang shahabat datang ke Nabi SAW dan memberitahu bahwa ketika ia
sedang shalat semalam dan hendak membaca suatu surat, tiba2 ia lupa
sama sekali dengan isi surat tsb seluruhnya, seakan2 surat tsb tidak
pernah ada dalam ingatannya. Seorang shahabat Nabi lainnya yang juga
hadir pada saat yang sama juga menyatakan hal yang sama. Nabi SAW
membenarkan keduanya dan mengatakan bahwa surat tsb semalam dinaskh
oleh Allah SWT.

Orang2 non-Muslim biasanya bertanya: Apa logikanya kok setelah
diturunkan, lalu dihapus? Apakah Tuhannya orang Islam plin-plan, dan
bingung, lalu meralat wahyunya sendiri? Tidak demikian halnya. Allah
SWT Maha Tahu dan dengan Ilmu-Nya Ia mengetahui mana2 yang terbaik
baik manusia yang menerima wahyuNya. Ketika wahyu diturunkan, pesan2
yang dikandungnya masih dianggap baru oleh orang2 Arab di zaman Nabi
karena berbeda dengan way of life yang mereka miliki. Ajaran2 Islam
ini diturunkan dalam tahapan2 agar mereka dapat beradaptasi dengan
peraturan2 ini. Allah yang menurunkan peraturan berhak pula merubah
peraturan tsb sesuai dengan ilmuNya yang maha luas untuk kebaikan
ciptaanNya.


> Jika benar fitnah tersebut, tentu banyak penghafal Qur'an yang
> protes di zaman Abu Bakar, Umar, atau Usman. Masak tidak terasa
> jika dulu membaca surat Al Ahzab 200 ayat, lalu
> sekarang tinggal 73 ayat? Hal itu sama saja dgn
> memfitnah Abu Bakar, Umar, Usman, dan ribuan sahabat
> lainnya telah merubah ayat Qur'an.

This is THE main point. Ini adalah jawaban yang logis untuk merefute
semua tuduhan atau anggapan akan ketidakaslian Al Qur'an yang
dilontarkan secara sengaja maupun tidak sengaja. Meskipun dapat
dijumpai sejumlah reports yang memberitakan adanya ayat2 yang pernah
ada tapi tidak dijumpai lagi dalam Al Qur'an, tidak ada satu pun
kita
jumpai report yang memberitakan adanya protes dari satu pun shahabat
Nabi akan ketidakaslian Al Qur'an sejak pertama kali dikumpulkan
menjadi satu kitab di zaman khalifah Abu Bakr, hingga mengcopyan
kitab ini dizaman khalifah Utsman bin Affan sebagai standard mushaf.


>    Bagaimana Suyuthi yang hidup lebih dari 300 tahun
> setelah kematian Nabi bisa tahu kalau jumlah ayat
> Qur'an pada masa Khalifah Usman ternyata kurang dari
> masa Nabi, sementara para sahabat Nabi yang hafal
> Qur'an tidak pernah merasakan hal itu?

Kalau kita lihat langsung dalam kitab Al-Itqan (yang bervolume2) itu
kemungkinan besar akan dapat dijumpai sanad atau sumber dari setiap
riwayat yang dicantumkan Imam Suyuthi ini. Mungkin ada yang bisa
mencantumkan sumber2 riwayat tsb di sini? Setahu saya belum ada
terjemahan Indonesia atau Inggris kitab Al-Itqan ini. Saya hanya
memiliki ikhtisar/ringkasannya saja dalam bhs.Indonesia kalau tidak
salah terbitan Gema Insani Press.

Mudah2an bermanfaat. Tolong dikoreksi kalau salah.
Wallahu'alam bishawab.