Tuesday, April 07, 2009

Hukuman mati buat mereka yang murtad?

Salah satu topik yang selalu dibawa2 oleh Islamophobes adalah hukuman mati bagi orang yang murtad di dalam Islam yang sering dituduh barbarik dan bertentangan dengan human rights. Para ulama sendiri berbeda pendapat di dalam hal ini. Yang menolak dituduh moderat dan liberal. Yang mendukung dituduh extrim dan fundamentalis. Lalu bagaimana kita mengcounter tuduhan islamophobes mengenai hal ini?

Muhammad El-Awa menulis buku "Punishment in Islamic Law" dalam salah satu chapter bukunya memuat secara komprehensif perbedaan pendapat ini. El-Awa pernah menjadi Associate Professor di University of Riyadh dalam bidang Comparative Law. Dia juga penulis buku "On the Political System of the Islamic State".

Berikut ini beberapa point yang saya ambil dari bukunya Dr.El-Awa, yang pernah saya posting dulu di beberapa milis:

Mereka yang berpendapat hukuman mati bagi orang murtad mendasarkan
kepada hadits Nabi "Barangsiapa yang merubah agamanya, bunuhlah dia"
(HR.Bukhari, Abu Dawud). Dr.El-Awa menolak penggunaan dalil ini
karena dalil ini tidak bisa diambil begitu saja literally. Kalau
demikian halnya, siapa saja yang merubah agamanya harus dibunuh
termasuk yang pindah dari kafir ke Islam, atau dari Yahudi ke Kristen
misalnya, ditambah lagi kenyataan yang berbeda ketika ada kasus
perorangan atau kelompok yang nyata2 murtad di hadapan Nabi tapi Nabi
tidak menjatuhkan hukuman mati terhadap mereka.

Dalam Al Qur'an tidak ditemui perintah menghukum mati orang2 yang
keluar dari Islam, hanya Allah SWT menilainya sebagai dosa yang
besar dan adanya hukuman berat di akherat kelak atasnya (16:106).

Di dalam sejarah kehidupannya, Rasulullah SAW tidak pernah menghukum
mati orang yang murtad. Ada beberapa peristiwa murtadnya orang dari
Islam setelah masuk Islam, tetapi Nabi SAW tidak memerintahkan mereka
untuk dibunuh. Dalam Nailul Awtar, Imam Syawkani menyebutkan bahwa
hadits yang memberitakan Nabi SAW pernah menghukum mati orang murtad
tidak reliable/trustworthy. Imam Bukhari dan Muslim menyebutkan dalam
hadits mereka tentang kasus seorang Arab Badui yang masuk Islam
kemudian terserang penyakit demam sehingga murtad hingga keluar dari
Madinah dengan sepengetahuan Nabi SAW tanpa mendapat hukuman.

Peristiwa lain juga terjadi di mana sekelompok orang Yahudi yang
berpura2 masuk Islam di hadapan Nabi SAW di Madinah di awal hari,
tetapi kemudian di penghujung hari, murtad untuk menggoyangkan
iman kaum Muslimin. Rasulullah SAW bisa saja menghukum berat mereka
tapi beliau tidak melakukannya (ini disebut Al Qur'an 3:72-73).

Dalil lain dari pendukung hukuman mati bagi murtadin ini adalah
hadits Nabi yang menyebutkan tiga syarat boleh diberlakukannya
hukuman mati:
- kasus perzinahan orang yang sudah menikah (adultery)
- kasus pembunuhan (murder)
- kasus orang yang meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari
Muslim community (al murtaddu an dinihi al mufariqu lil jama'ah).
(HR.Bukhari, Muslim, Abu Dawud)

Menurut Ibn Taymiyya kejahatan ketiga yang disebutkan dalam hadits
tersebut adalah the crime of hiraba (armed robbery) sesuai dengan
text hadits tsb seseorang yang keluar dan memerangi Allah, RasulNya
dan kaum Muslimin. Jadi tidak berhubungan dengan kasus murtad yang
sederhana (contohnya karena kebodohan, kemiskinan, dan termakan tipu
daya missionaris yang tidak disertai tindakan memerangi Islam dan
kaum Muslimin.

Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah pernah mengatakan bahwa
terhadap orang2 murtad, beliau akan mengajak mereka kembali kepada
Islam, dan akan menjatuhkan hukuman penjara kepada mereka yang
membangkang terhadap ajakannya ini. Umar tidak memerintahkan hukuman
mati terhadap para murtadin ini. Beberapa ulama tabi'in (murid para
shahabat Nabi SAW) seperti Ibrahim Al-Nakhi dan Sufyan Al-Tsawri
berpendapat bahwa orang murtad harus diajak kembali ke Islam dan
tidak seharusnya dihukum mati. Ulama mazhab Maliki mengatakan murtad
tidak dihukum secara hadd (fixed punishment), tapi secara ta'zir
(discretionary punishment) yang bertujuan selain mencegah seseorang
dari melakukan kejahatan di kemudian hari tapi juga memperbaiki
perilaku buruknya yang dimiliki.

Dalam bukunya, Dr.El-Awa mencari perbandingan hukum dalam berbagai
mazhab dan pandangan yang diuraikan dengan jelas dan lengkap dengan
referencenya (very well documented) sangat berbeda dengan beberapa
tulisan yang saya baca yang berada di pihak yang pro death penalty
ini. Contohnya, buku Abul Ala Maududi "The Punishment of the Apostate
According to Islamic Law", saya rasa lebih banyak membahas alasan dan
reason -yang terkadang menurut saya terlalu dipaksakan- terhadap such
punishment for the apostates.

Jarang sekali kita temui tulisan yang membahas secara luas yang
memuat hikmah dan pengaplikasian hukuman ini dalam berbagai kasus di
masyarakat. Banyak kasus2 yang berbeda yang perlu dipertimbangkan
sebelum tergesa2 menerapkan hukuman mati bagi orang murtad ini. Para
hakim di sistem pengadilan Islam harus memiliki wisdom to perceive
and understand different situations and conditions when the
punishment should be applied. Contohnya:

1. Kasus mata2 yang berpura2 masuk Islam, dan melamar posisi
strategis dalam khilafah Islamiyah, untuk mengambil semua informasi
penting khilafah, dan membocorkannya kepada musuh. Ini sama dengan
act of treason/betrayal, yang sampai sekarang pun diakui hukuman
terberat (mati) yang pantas diterapkan pada mereka.

2. Kasus orang2 kafir yang berpura2 masuk Islam dan murtad
kembali untuk membuat ragu2 iman orang2 mualaf yang baru
masuk Islam, seperti di zaman Rasulullah SAW terjadi. Dengan
ancaman hukuman mati bagi orang murtad, para musuh kaum Muslimin ini
tidak bisa seenaknya 'plan a silent attack' to the Muslim community
dengan pura2 masuk Islam dan murtad kembali (untuk menggoyangkan iman
new converts in Islam).

3. Kasus orang kafir yang berpura2 masuk Islam, untuk menikahi
perempuan muslim dengan niat murtad lagi sehingga bisa membawa
anak2nya kembali kepada agamanya semula. Orang tua anak Muslim yang
akan dinikahi tentu merasa khawatir dan cemas, kalau orang kafir ini
hanya berpura2 masuk Islam untuk menikahi anaknya dengan niat di
atas. Dengan ancaman hukuman mati, rasa khawatir akan juga dialami
oleh orang kafir ini sehingga ia harus berpikir berulang kali sebelum
berpura2 membaca syahadat di hadapan penghulu.

Agak menyimpang dari main topic, but might be related, IMHO, hukum
Islam itu indivisible, comprehensive. Tidak bisa kita terapkan satu
hukum, tapi menafikan hukum lainnya. Pada zaman khalifah Umar bin
Khattab, pernah terjadi kasus pencurian, sedang Umar RA tidak
menerapkan hukum potong tangan, karena situasi dan kondisi saat itu
membuat mereka terpaksa mencuri (masa paceklik). Tetapi ini tidak
berarti Umar menghilangkan hukum potong tangan di dalam Al Qur'an.
Umar tidak melihat ada illat (alasan hukum) yang sama yang bisa
dijadikan landasan pelaksanaan hukum tsb pada saat itu. Setahu saya,
beberapa kasus lainnya yang serupa juga terjadi di masa
khulafurrasyidin lainnya.

Dalam memandang hukum Islam, sudah seharusnya jangan hanya melihat
dengan sebelah mata, membela pelaku kejahatan tanpa melihat penderita
kejahatan tsb. Hukum potong tangan misalnya tampak tidak adil buat
sang perampok. Tapi bagaimana dengan victim perampokan? Setiap orang
akan merasakan rasa takut dan cemas di komunitas di mana banyak
perampokan, khawatir kalau2 ia akan mengalami kehilangan harta benda
(bahkan nyawa) ketika perampokan itu terjadi padanya. Dengan
diterapkan hukum potong tangan (dan hukum mati buat pembunuh), para
perampok akan pula merasakan rasa takut dan cemas akan konsekwensi
kejahatan mereka, serta berpikir berulang kali sebelum benar2 berani
beraksi.

Wallahu'alam.


No comments: