Menanggapi komentar perihal "numbers" dalam fiqh mencuci air liur
anjing di bawah:
> 'Spirit of hadith' pula seperti didalam hal ini, Rasulullah SAW
> menekankan (emphasize) supaya dicuci bersih-bersih seperti yang
> kita ketahui sebab-sebabnya. Note: emphasis is on thorough cleaning
> and not the # of times, whereas the # is just a guide to make sure
> it is truly clean. This is further stressed cleaning at least once
> with earth or sand. Please bear in mind that it is not the earth or
> sand per se that is the crucial point here. The earth/sand acts as
> coarse cleaning/rubbing medium like we use steel wool or green
> sponge in our kitchen these days. This will ensure that it will be
> squeaky clean.
Mengenai aturan berapa kali/banyak sesuatu itu dikerjakan dalam
masalah fiqh/syari'at, menurut saya mayoritas ulama menggunakan
tafsir literally, bukan spiritually. Contohnya dalam bersuci/thaharah
sebelum shalat (wudhu'). Bolehkah kita membasuh anggota tubuh 1x
instead of 3x seperti yang literally diinstruksikan Nabi? Bagaimana
dalam aturan2 syari'at lainnya seperti jumlah raka'at setiap shalat,
zikr tasbih (33x), dan tawaf haji (7x), dlsb. Dalam masalah fiqh ini
setahu saya kalangan ulama fiqh berpegang kepada literal
interpretation of hadith.
Kalau dalam merumuskan suatu hukum terdapat perbedaan antar bunyi
hadits yang satu dengan yang lain, para ulama melihat apa konteksnya
sama atau berbeda. Kalau konteksnya sama, maka harus dilihat mana
status hadits yang lebih kuat keshahihannya. Kalau sama2 shahih, maka
kalangan ulama melihat mana yang lebih mutawatir (lebih banyak
diriwayatkan oleh para shahabat). Kalau sama2 mutawatir dilihat mana
yang lebih dulu disabdakan Nabi (asbabul wurudnya). Dst. Para ulama
memiliki ilmu2 dasar fiqh (ushul fiqh) dalam menyusun argumentasi
untuk merumuskan suatu hukum dalam Islam. Ada istihsan, maslahatul
mursalah, qiyas, dlsb.
> Bagaimana pula kalau kita didalam boat dan anjing menjilat periuk
> kita. Bagaimana kalau tidak ada tanah atau pasir didalam boat? Saya
> rasa kita boleh gantikan dengan sesuatu yang kasar seperti kayu
> atau canvass.
Dalam hal ini (dimana situasi dan kondisi tidak memadai) tentunya
dibolehkan adanya ijtihad. Kalangan ulama fiqh/syari'at memiliki
metode2 ijtihad dalam ushul fiqh seperti qiyas dll, dalam situasi dan
kondisi yang tidak memungkinkan untuk menerapkan literal
interpretation of hadith. Contohnya dalam berthaharah, toilet paper,
misalnya bisa dianalogikan dengan batu di zaman dulu, dimana air
tidak ada. Juga dalam bertayamum di mana tidak ada pasir, kita boleh
menggunakan debu, asal tetap yang bersih/suci. Begitu pula kasus2
lainnya.
Wallahu'alam.
anjing di bawah:
> 'Spirit of hadith' pula seperti didalam hal ini, Rasulullah SAW
> menekankan (emphasize) supaya dicuci bersih-bersih seperti yang
> kita ketahui sebab-sebabnya. Note: emphasis is on thorough cleaning
> and not the # of times, whereas the # is just a guide to make sure
> it is truly clean. This is further stressed cleaning at least once
> with earth or sand. Please bear in mind that it is not the earth or
> sand per se that is the crucial point here. The earth/sand acts as
> coarse cleaning/rubbing medium like we use steel wool or green
> sponge in our kitchen these days. This will ensure that it will be
> squeaky clean.
Mengenai aturan berapa kali/banyak sesuatu itu dikerjakan dalam
masalah fiqh/syari'at, menurut saya mayoritas ulama menggunakan
tafsir literally, bukan spiritually. Contohnya dalam bersuci/thaharah
sebelum shalat (wudhu'). Bolehkah kita membasuh anggota tubuh 1x
instead of 3x seperti yang literally diinstruksikan Nabi? Bagaimana
dalam aturan2 syari'at lainnya seperti jumlah raka'at setiap shalat,
zikr tasbih (33x), dan tawaf haji (7x), dlsb. Dalam masalah fiqh ini
setahu saya kalangan ulama fiqh berpegang kepada literal
interpretation of hadith.
Kalau dalam merumuskan suatu hukum terdapat perbedaan antar bunyi
hadits yang satu dengan yang lain, para ulama melihat apa konteksnya
sama atau berbeda. Kalau konteksnya sama, maka harus dilihat mana
status hadits yang lebih kuat keshahihannya. Kalau sama2 shahih, maka
kalangan ulama melihat mana yang lebih mutawatir (lebih banyak
diriwayatkan oleh para shahabat). Kalau sama2 mutawatir dilihat mana
yang lebih dulu disabdakan Nabi (asbabul wurudnya). Dst. Para ulama
memiliki ilmu2 dasar fiqh (ushul fiqh) dalam menyusun argumentasi
untuk merumuskan suatu hukum dalam Islam. Ada istihsan, maslahatul
mursalah, qiyas, dlsb.
> Bagaimana pula kalau kita didalam boat dan anjing menjilat periuk
> kita. Bagaimana kalau tidak ada tanah atau pasir didalam boat? Saya
> rasa kita boleh gantikan dengan sesuatu yang kasar seperti kayu
> atau canvass.
Dalam hal ini (dimana situasi dan kondisi tidak memadai) tentunya
dibolehkan adanya ijtihad. Kalangan ulama fiqh/syari'at memiliki
metode2 ijtihad dalam ushul fiqh seperti qiyas dll, dalam situasi dan
kondisi yang tidak memungkinkan untuk menerapkan literal
interpretation of hadith. Contohnya dalam berthaharah, toilet paper,
misalnya bisa dianalogikan dengan batu di zaman dulu, dimana air
tidak ada. Juga dalam bertayamum di mana tidak ada pasir, kita boleh
menggunakan debu, asal tetap yang bersih/suci. Begitu pula kasus2
lainnya.
Wallahu'alam.
No comments:
Post a Comment