Tuesday, June 04, 2002

Diskusi dengan Ahmadiyah - part 3


Menanggapi komentar di bawah ini:

> "Muhammad itu bukanlah sekali-kali bapak dari salah seorang laki-
> laki di antara kamu, tetapi dia adalah rasul Allah dan khaataman-
> nabiyyin. Dan adalah Allah maha mengetahui segala sesuatu" (33:40).
>
> Adakah yang bisa menjabarkan dengan komprehensif dan jelas : kenapa
> nabi Muhammad saw bukan bapak dari seorang laki-laki diantara kamu ?
> Kemudian anda hubungkan dengan pernyataan Allah Ta'ala bahwa beliau
> adalah "rasulullah" dan "khaataman-nabiyyin".
>
> Apakah hakikat KORELASI antara Hz. Muhammad saw BUKAN bapak dari
> seorang laki-laki diantara kamu dengan "khaataman-nabiyyin" ?
>

Setahu saya ada dua pendapat mengenai hal ini.

1. Ada yang mengatakan bahwa ayat tsb (33:40) berkenaan ayat
sebelumnya 33:37-40 tentang kasus Zaid bin Haritsah. Nabi SAW
menikahi Zaynab bint Jahsy bekas istri Zaid dan ini dijadikan olok2
oleh mereka yang memusuhi Nabi sebagai suatu hal yang memalukan
karena melanggar tradisi. Meskipun dalam ayat sebelumnya sudah
disebut status Zaid sebagai anak angkat Nabi, Allah SWT menegaskan
kembali bahwa Nabi bukan ayahnya. Lalu apa hubungannya ini dengan
kedua status dalam ayat yang sama, utusan Allah dan penutup para
nabi? Sebagai utusan Allah, Nabi SAW mendapat perintah dari Allah
ketika menikahi Zaynab, bukan karena kehendak beliau, karena Allah
SWT ingin menunjukkan salahnya tradisi adat tsb. Sebagai penutup para
Nabi, penghapusan tradisi ini di"sealed" dan berlaku sepanjang zaman,
karena tidak akan ada lagi nabi baru yang akan merubah hukum ini.

2. Ada yang mengatakan bahwa ayat tsb berkaitan dengan surat Al-
Kautsar di mana surat tsb diturunkan karena orang2 kafir yang
memusuhi Nabi mencemooh dan menghina beliau karena tidak memiliki
keturunan laki2, sehingga mereka berkata bahwa risalahnya akan
terputus setelah beliau wafat (karena tidak akan ada anak laki2 yang
akan melanjutkannya). Allah SWT membantah mereka dalam surat Al-
Kautsar bahwa merekalah yang akan terputus. Dalam ayat 33:40, Allah
SWT menegaskan kembali bahwa meskipun Nabi SAW bukanlah ayah dari
anak laki2 di antara kaum Muslimin, tapi ini bukan berarti status
beliau menjadi hina, karena beliau mendapat tugas mulia dari Allah
sebagai utusanNya, dan tanpa anak laki2 bukan pula berarti risalahnya
akan musnah karena Allah memberikan status beliau sebagai penutup
para nabi yang berarti hukum2 yang diturunkan atas beliau dijamin
Allah tetap berlaku hingga akhir zaman meskipun beliau telah tiada.

Wallahu'alam.

Monday, June 03, 2002

Syafa'at Nabi absurd?



> Kok Nabi perlu melawan ketetapan Allah tentang nasib
> seorang hamba, padahal yang menimbang amalannya
> sudah Allah sendiri. Apa Rasul meragukan pengadilan
> Illahi ?
>
> Wah, ajaran syafaat ini sungguh absurd.


Saya rasa bukan melawan tapi memohon rahmat dan
ampunan Allah SWT terhadap orang yang sedang disidang
(mungkin seperti lawyer yang menguraikan sisi2 baik si
terdakwa). Bagi Allah yang Maha Tahu segalanya kalau
Ia mau sebenarnya bisa saja tidak perlu diadakan hari
pengadilan dan ada syafa'at segala, karena Ia sudah
tahu status amalan dan dosa setiap manusia. Tapi Ia
berkehendak lain.

Wallahu'alam.




Friday, May 03, 2002

Diskusi tentang Ahmadiyah - Part 2


Menganggapi komentar ini:
 ...
> Jika nabi Isa dianggap belum wafat maka akan
> bertentangan dengan QS. Sebab
> tidak ada manusia yang abadi. Hanya Allah Ta'ala
> yang abadi.
> ...

Apakah orang yang menganggap Nabi Isa belum wafat saat
ini bisa disimpulkan ia bertentangan dengan Qur'an
karena memberinya attribute ketuhanan (kekal) kepada
beliau? Ini pokok permasalahannya. Menurut saya, jalur
logika ini menggunakan syllogism:

Premise: Setiap manusia pasti wafat
Premise: Nabi Isa adalah manusia
Konklusi: Nabi Isa pasti wafat.

Sekarang apakah orang yang mengatakan Nabi Isa sampai
sekarang belum wafat bisa disamakan dengan orang yang
mengatakan ia tidak akan wafat? Tentunya tidak. Dalam
hadits shahih disebutkan bahwa beliau nanti akan wafat
setelah berperang dan mengalahkan Dajjal serta
memerintah membawa kedamaian di muka bumi.

Lalu kemana ia sekarang menurut mereka yang mengatakan
bahwa ia belum wafat? Menurut saya tidak ada satu
textual evidence baik di Qur'an maupun hadits shahih
yang menyebutkan jawabannya. Kita hanya bisa bilang:
wallahu'alam. Tapi pointnya, kalau Allah SWT
mengangkat Isa (kemana dan dimana kita tidak tahu),
apakah ini berarti kita menganggap Nabi Isa itu sama
dengan Tuhan? Tidaklah demikian halnya.

Tentunya kita semua tahu tentang kisah ashabul kahfi
di mana para pemuda tsb tidur 300an tahun lamanya.
Bagi orang2 yang hidup di masa mereka dan generasi2
sesudah mereka, yang belum mengetahui keadaan mereka
(yang tidur ratusan tahun lamanya) tentunya menganggap
mereka telah mati sejak lama. Padahal mereka
ditidurkan saja ratusan tahun, tidak diwafatkan. Ini
bisa diambil sebagai contoh saja.

Apakah mustahil menurut akal sehat kita bahwa Allah
SWT mampu mengangkat Nabi Isa (yang hanya Dia yang
tahu semuanya) dan akan menurunkannya pada akhir zaman
untuk misi yang sudah direncanakanNya sebelumnya?
Kekuasaan Tuhan jangkauannya jauh melampaui dimensi
ruang dan waktu yang kita kenal (berdasarkan rotasi
bumi dan perputaran alam semesta) dengan segala
relativitasnya? Menurut saya tidak mustahil sama
sekali, sama dengan kisah ashabul kahfi di atas tadi.


> Jika dianggap telah wafat - maka dapat dikaji lebih
> lanjut kenapa Hz.
> Muhammad saw banyak sekali memberitakan tentang
> kedatangan Mahdi dan Masih ?

Menurut saya, Imam Mahdi dan Nabi Isa adalah dua
person yang berbeda yang akan keluar di akhir zaman
nanti. Ini berdasarkan banyak hadits yang reliable.
Pihak Ahmadiyyah berpendapat bahwa Imam Mahdi dan Nabi
Isa itu adalah orang yang sama dengan memakai hadits:
"Tidak ada Mahdi kecuali Isa bin Maryam". Padahal
hadits ini adalah dhaif karena ada perawi yang bernama
'Aban bin Shaleh dalam sanadnya yang matruk
(ditinggalkan oleh para ahli hadits karena tidak dapat
dipercaya).

> ...
> > Contohnya kalangan Ahmadiyyah menggunakan hadits
> > berikut (walaupun bukan dari Nabi SAW) untuk
> mendukung
> > paham mereka:
> >
> > "Ada dua tanda kedatangan Imam Mahdi yang tidak
> pernah
> > terjadi selama alam ini berdiri. Gerhana bulan di
> > malam pertama bulan Ramadhan dan gerhana matahari
> di
> > pertengahan Ramadhan." (Daruqutni)
>
> Anda tidak lengkap mengutip isi hadits ini. Bisa
> tolong lengkapi ?

Saya rasa ini sudah lengkap, coba anda lihat dari
referensi yang anda cantumkan di bawah:

"For Our Mahdi there are two Signs which have never
appeared before since the creation of the heavens and
the earth, namely, the moon will be eclipsed on the
first night in Ramazan (i.e. on the first of the
nights on which a lunar eclipse can occur) and the sun
will be eclipsed on the middle day (i.e.; on the
middle one of the days on which a solar eclipse can
occur), and these Signs have not appeared since God
created the heavens and the earth."
( Sunan Darqutni, kitabul eidain, chapter:
salat-ul-kasoof-ul khasoof wa haitahuma)

Kata2 yang di dalam kurung sebenarnya adalah
interpretasi pihak Ahmadiyyah dengan menginterpolasi
text hadits tsb (yang tidak ada dalam text aslinya).


> Imam Daru-Quthni adalah salah satu pengumpul hadist
> yang paling credible.

Saya tidak tahu apakah dia credible atau tidak
(lagipula saya tidak tahu standard anda dalam melabel
beliau credible), yang penting adalah sanad hadits tsb
tidak reliable, karena ada pendusta di dalamnya. Imam
Thabari, Abu Dawud, Ibn Majah, Ibn Katsir, Ibn Hisyam,
Ibn Sa'ad, dll, juga sering mencantumkan hadits2
dha'if, maudhu', bahkan Israiliyat untuk
menginformasikannya kepada para pembaca tentang semua
report yang mereka miliki mengenai topik2 yang mereka
bicarakan. Tidak jarang mereka sebutkan sanadnya
secara lengkap dan menyebut kedha'ifannya. Ini bukan
berarti mereka menjadi tidak credible karena
mencantumkan hadits2 non-shahih tsb.

> Beliau menempatkan hadits ttg gerhana bulan dan
> matahari di bulan Ramadhan
> dalam kitab shahih-nya.

Sepengetahuan saya tidak pernah adanya kitab kumpulan
hadits shahih karangan Daruquthni. Mungkin yang anda
maksud kitab Sunan Daruquthni. Kitab ini pun tidak
termasuk dalam kitabussittah yang terkenal itu.

> ...
> Hadits ini sebenarnya berasal dari Nabi Muhammad saw
> yg diteruskan sampai
> Hz. Imam Muhammad Baqir. Hadits ini dipelihara
> dengan baik oleh kalangan
> Ahl-Bayt turun-temurun. Ahl-Bayt mempunyai kebiasaan
> untuk merekam
> perkataan/sabda Hz. Rasulullah saw dengan tidak
> menyebut itu berasal dari
> Hz. Rasulullah saw. Hal ini sangat dimengerti bahwa
> jika ada narasi yg
> berasal dari pemuka Ahl-Bayt maka hadits tsb
> sesungguhnya berasal dari Nabi
> Muhammad saw.

Ini dengan asumsi memang hadits tsb diucapkan oleh
Imam Muhammad Al Baqir. Asumsi ini yang tidak reliable
karena asumsi ini didasarkan pada suatu report yang
diriwayatkan oleh orang yang terkenal suka memalsu
hadits. Kalau sanadnya shahih tidak ada cacatnya,
tentunya apa yang sebutkan di atas bisa diterima.


> > Tapi orang Ahmadiyyah berpendapat isi hadits tsb
> bisa
> > dipercaya karena mereka mengklaim isinya telah
> > terbukti kebenarannya pada saat lahirnya pendiri
> > Ahmadiyyah.
>
> Bukan saat lahirnya.
>
> Terjadi/genapnya tanda dilangit tsb (gerhana
> matahari dan bulan) di tahun
> 1894 M sesuai nubuatan QS, Bible dan Hadits - ketika
> Hz. Mirza Ghulam Ahmad
> sedang mengalami perlawanan sangat hebat dari para
> penentangnya, karena
> beliau telah memproklamirkan diri sbg Masih dan
> Mahdi-Nya di tahun 1891 M.


Bisa minta tolong dari mana dasarnya anda bisa tahu
bahwa pada tahun tsb terjadi gerhana bulan di MALAM
PERTAMA bulan Ramadhan dan gerhana matahari pada
PERTENGAHANNYA? Ini penting karena kalau tidak, apa
uniquenya peristiwa tsb (karena diklaim tidak pernah
terjadi selama alam semesta ini berdiri). Apakah ada
catatan2 sejarah yang bisa dipercaya untuk mendukung
klaim tsb?

Thursday, May 02, 2002

Diskusi tentang Ahmadiyah - Part 1

Datangnya kembali Nabi Isa di akhir zaman setahu saya
memang disebutkan di banyak hadits2 shahih bahkan
statusnya sampai mutawatir.

Tapi setiap aliran dalam Islam (Sunni, Syi'ah,
Ahmadiyah, Bahai, Ismail, dll) memiliki interpretasi
mereka sendiri mengenai hal ini.

Menurut saya sah2 saja setiap interpretasi selama
argumentasi yang mendukungnya valid. Validitas ini
maksudnya didasarkan kepada sumber yang reliable dan
bisa diterima/reasonable oleh akal sehat. Interpretasi
ini bagaikan teori, kalau ia tidak bisa bertahan
terhadap sanggahan2 dan argumentasi2 lain yang
reasonable yang bertentangan dengannya, maka ia akan
gugur dan tidak bisa diterima.

Prophecy merupakan suatu hal yang tidak bisa
diverifikasi secara empirik karena belum terjadi
(datangnya di masa depan), karena itu validitas report
yang memberitakannya sangat menentukan diterima atau
tidaknya interpretasi tsb. Kalau landasan klaimnya
saja sudah tidak reliable, bagaimana kita bisa
mendasarkan keyakinan kita padanya?

Contohnya kalangan Ahmadiyyah menggunakan hadits
berikut (walaupun bukan dari Nabi SAW) untuk mendukung
paham mereka:

"Ada dua tanda kedatangan Imam Mahdi yang tidak pernah
terjadi selama alam ini berdiri. Gerhana bulan di
malam pertama bulan Ramadhan dan gerhana matahari di
pertengahan Ramadhan." (Daruqutni)

Hadits ini berasal dari riwayat Amr bin Syamir dari
Jabir yang berkata bahwa ia mendengar perkataan
Muhammad AlBaqir bin Ali bin Husain (cucu Nabi SAW).
Tetapi Amr dan Jabir ini dikenal oleh kalangan para
ahli hadits sebagai orang yang suka memalsu hadits,
karena itu status hadits tsb jatuh kepada status
maudhu' (palsu).

Tapi orang Ahmadiyyah berpendapat isi hadits tsb bisa
dipercaya karena mereka mengklaim isinya telah
terbukti kebenarannya pada saat lahirnya pendiri
Ahmadiyyah. Orang awam tentu saja akan bertanya,
apakah ada bukti2 sejarah yang reliable yang
menceritakan memang benar ada gerhana bulan di MALAM
PERTAMA bulan Ramadhan dan gerhana matahari di
PERTENGAHANNYA saat lahirnya pemimpin Ahmadiyyah?
Tentunya ini sesuatu yang bisa diobserved dari
catatan2 sejarah dan perhitungan astronomi, dan kalau
tidak terbukti validitasnya, klaim ini tidak akan bisa
berdiri.

Perdebatan mengenai hal ini untuk lebih detailnya bisa
dibaca di: http://alhafeez.org/rashid/eclpart4.htm

Wallahu'alam.

________________________________________

Comments, by Dr David McNaughton, on

"ECLIPSES AND THE PROMISED MESSIAH"
15th November 1995; revised 16th July 2000
("Eclipses and the Promised Messiah", by Dr Muhammad Aslam Nasir, was placed on the
Internet under "Review of Religions" in March 1994.)
Dr D L McNaughton is a South African meteorologist and astronomer working at Dubai Airport in the Meteorological Office. He is responsible for answering all queries of an astronomical nature and is considered to be an authority on this subject in the UAE. He is well known for his valuable contributions of articles in this field to magazines and journals both locally and internationally for the past several years.
In addition to the following article, at our request, Dr David has examined the occurrence of double-eclipse Ramadans and the statements made by Mirza Ghulam Ahmad Qadiani. His paper will shortly appear in Hamdard Islamicus and will be placed here as well, Insha Allah.
  1. The foundation-stone of Dr Muhammad Aslam Nasir's thesis is his very drastic reinterpretation of the words of Imam Muhammed al-Baqir ibn 'Ali ibn Husain. That Imam's statement about a lunar eclipse on the "first night of Ramadan", is regarded by Dr Muhammad Aslam asreferring to the 13th of Ramadan - by arguing that the 13th is the earliest Ramadan date when such an eclipse is possible. Similarly, Imam Baqir's stipulation of a solar eclipse "in the middle of Ramadan" has been reinterpreted by Dr Muhammad Aslam as one which would take place on the 28th of Ramadan!


  2. According to Shi-ite accounts, when Imam Muhammed al-Baqir made his prophecy, one of his companions suggested that he might have inadvertently reversed the order of the two eclipses. However, the Imam replied that he had not made a mistake. If indeed (as Dr Muhammad Aslam claims) this Imam had really meant to specify the 13th and 28th of Ramadan, then surely he would have explained that when questioned. Here is one version of how they discussed it:
    al-Fadl ibn Shadhan reported [on the authority of Ahmad ibn Muhammad ibn Abi Nasr] this conversation between Tha'laba al-Azdi and Imam al-Baqir:

      Imam Abu Ja'far (Muhammed) al-Baqir predicted: "Two signs will come before the one who will arise (al-qaim) [Peace be on him]: there will be an eclipse of the sun in the middle of the month of Ramadan, and an eclipse of the moon at the end of it"."Son of the Apostle of God", I said, "usually an eclipse of the sun happens at the end of the month, whereas an eclipse of the moon occurs in the middle of it?"
      "I know what I have said", replied Imam al-Baqir; "these are signs which have not been witnessed since Adam came down".
       
    (More detailed references are given below).
       
    Admittedly, the Shi-ite version (above) differs from the one which is quoted by Dar-e-Qatni and by the Qadianis - in that this story refers to the middle *and end* of the month. (The Qadianis stipulate the beginning and middle)

     
  3. The Qadiani "alteration" of those Ramadan dates is compounded by additional uncertainty - because of flexibility in specifying exactly where crescent sightings are made, when defining the start of that lunar month.


  4. Islamic countries occupy a wide range of longitudes between eastern Asia and northwest Africa, so their calendars do not always follow the same Gregorian dates. There is also a marked bias between the northern and southern hemispheres: e.g. it is often easier to spot a new-born crescent from southeast Africa than it is from a Levantine country on the same longitude (or vice versa) - because of the different angles between the ecliptic and the horizon at dusk.
    Furthermore, there are other Islamic calendar systems in use which eliminate any dependence on lunar observation: such a calendar (based on a 10631-day cycle) has been adopted by the Bohra community, and (for certain months) by the Saudi Arabian authorities. It often runs one or two days behind calendars which conform strictly to crescent-sighting.
    Thus, it may be unproductive to attempt to examine whether or not particular eclipses did in fact occur (or commence ) on the 13th of Ramadan or on the 14th, or whenever, because of the difficulty in deciding which Islamic calendar should be utilised. Nevertheless, there is evidence that the 13th is not the earliest possible date for lunar eclipses - because they can occasionally take place as early as the 12th of an Islamic month (URL/DLMcN, 2000).
    However, there is absolutely no doubt that there have been many occasions when a lunar and a solar eclipse have both been witnessed during Ramadan (McNaughton, 1996).
    Dr Muhammad Aslam's article contains another time-misconception in his claim that all eclipses are confined to one particular Islamic day. On the contrary, it is by no means impossible for an already eclipsed moon to rise as the sun sets, having been visible earlier on from countries further east. Similarly, the sun may set while eclipsed - but continuing to remain eclipsed and still above the horizon elsewhere. Alternatively, a solar eclipse observed from west Africa or Europe will often begin before and end after sunset in Pakistan, for example.


  5. Dr Muhammad Aslam's mention of errors in von Oppolzer's 1887 Canon of Eclipses is misleading and inappropriate in view of the availability of more accurate canons, such as those produced by Meeus and Mucke and by Bao-Lin Liu and Fiala. (In fact, von Oppolzer's analyses were much better than Dr Muhammad Aslam implies). Also, Dr Muhammad's excuse that past eclipses cannot be checked properly because of fluctuations in Earth's rate of rotation and in the moon's orbital motion - is yet another " red herring".


  6. If an eclipse-shadow is scheduled to brush the surface of the Earth, then it will still do so even if our planet is suddenly forced to spin faster or more slowly. Admittedly the eclipse timings will be affected (according to a clock running on UTC) - but past records are almost always good enough to confirm dates of occurrence - and indeed to enable scientists to deduce what UTC time-correction is appropriate for each occasion. (The contribution made to that discrepancy by variations in Earth's rotation-rate is known as the "Delta-T" value for the date concerned: these can be estimated for the past much more reliably than for the future).
    Despite what Dr Muhammad Aslam implies, year to year variations in the shape of the moon's orbit can be modelled and calculated extremely well. The Chapront ELP-2000/82 lunar theory provides one of the best routines presently available. Accurate cross-checks are provided by numerical integration of gravitational effects from all important Solar System members. Results are confirmed later by laser reflectors placed on the moon's surface by astronauts. It is true that the moon's long-term orbital deceleration is not known with 100 per cent accuracy - but during the last one or two centuries, eclipse times computed according to the Chapront algorithm are nevertheless reliable to within a few seconds.


  7. Dr Muhammad Aslam's investigation of future eclipses up until AD 2100 is unconvincing without a full exposition of criteria he adopted to decide on the dates of 1st Ramadan. There is a wide "grey" area where crescent sightability cannot be ascertained in advance because it depends very much on the thickness of the low-level haze. This often raises doubt as to exactly when Ramadan may commmence, and an error of a whole day is enough to destroy Dr Muhammad Aslam's thesis.


  8. A professional approach would also have stated what values were assumed for the Delta-T correction, to allow for the slowing down of Earth's rotation; it is just possible that other (equally plausible) values could alter at least one of his dates.

     
REFERENCES AND BIBLIOGRAPHY
Bao-Lin Liu and A.D. Fiala, 1992: Canon of Lunar Eclipses, 1500 BC- AD 3000. Willmann-Bell Inc., Richmond, Virginia.
M. Chapront-Touze and J. Chapront, 1983: The Lunar Ephemeris ELP 2000. Astronomy & Astrophysics 124, pp. 50-62. Improved expressions are given in a later paper, 1988, in Astronomy & Astrophysics 190,  p. 346. Their book Lunar Tables and Programs from 4000 B.C. to A.D. 8000is published by Willmann-Bell Inc., Richmond, Virginia.
Dar-e-Qatni 1,  p. 188. This mentions the prophecy by Muhammed al Baqir ibn 'Ali ibn Husain regarding eclipses preceding appearance of the Mahdi - narrated by Amar ibn Shamer, quoting Jaber.
The corresponding Shi-ite versions appear in: Kitab al-Irshad (The Book of Guidance), by Shaykh al-Mufid (d. 1022 AD), Translated by I.K.A. Howard (University of Edinburgh),  p. 545, and in Bihar al-Anwar, Majlisi (d. 1699 AD), vol. 113,  p. 161.
Explanatory Supplement to the Astronomical Almanac, 1992.University Science Books, Mill Valley, California. It contains a chapter on "Calendars" and another on the "... Rotation of the Earth", as well as discussions on Solar System dynamics (including numerical integration of mutual gravitational effects).
D.L. McNaughton, 1996: Eclipses during Ramadan. Hamdard Islamicus (Karachi) XIX(1). Its 'Table 1' shows double-eclipse Ramadans occurring every 22 or 23 Islamic years. A copy appears in this website, as well as in http://members.fortunecity.com/dlmcn
J. Meeus, 1991: Astronomical Algorithms. Willmann-Bell Inc., Richmond, Virginia. Chapters 45, 47, 48 and 49 discuss the moon's behaviour, including variations in its distance from Earth. Chapter 52 is devoted to eclipses, and chapter 9 to fluctuations in Earth's spin-rate.
J. Meeus and H. Mucke, 1983: Canon of Lunar Eclipses, -2002 to 2526 (2nd edition). Astronomical Office, Vienna.
H. Mucke and J. Meeus 1983: Canon of Solar Eclipses, -2003 to +2526. Astronomical Office, Vienna.
T. R. von Oppolzer, 1887: Canon der Finsternisse. Imperial Academy of Science, Vienna. (1962 English edition published by Dover Publications, New York).
Also see Oppolzer's Great Canon of Eclipses by W.H.C. Carton - in Sky & Telescope November 1989 , pp. 475-478.
SOFTWARE
EclipseMaster, SunTracker and MoonTracker are of high quality (enabling eclipses to be examined on a personal computer). They are available from Zephyr Services, Pittsburgh, Pennsylvania.
A companion diskette comes with Meeus's Astronomical Algorithms.

Tables showing dates of Double-Eclipse Ramadans - in Part 5
You are welcome to drop me a note, or else contact David directly:
Dr David L. McNaughton
SERCO/IAL
P. O. Box 1897
Dubai,
United Arab Emirates.
http://www.david.mcnaughton.com
http://members.fortunecity.com/dlmcn
UK telefax: +44-870-1680423 


Back to Shaddad's Lost Paradise 


Back to Home Page 

Tuesday, April 30, 2002

Tanggapan terhadap Ulil tentang Moralitas - part 2

Berikut ini lanjutan tanggapan saya terhadap tanggapan
Ulil Abshar Abdala yang dulu pernah dipost di
islamliberal. Mudah2an bermanfaat.


A. Mengenai nurani serta lingkup urusan private &
public

Nurani (consciousness) dan feeling (perasaan) dalam
konteks kejiwaan menurut saya adalah sama. Kalau
konteksnya lain, misalnya perasaan sakit ketika
tertusuk duri dicompare dengan perasaan bersalah
ketika membentak orangtua, tentunya beda. To have a
feeling is to be conscious, and to be conscious is to
have a feeling. Dalam ilmu psychology dan
neuroscience, consciousness manusia ini masih dalam
kategori uncharted territory atau masih merupakan
misteri. Tidak ada yang tahu secara pasti apa yang
dinamakan nurani (consciousness) itu dan dimana
letaknya. Ia hanya bisa "dirasa" keabstrakannya. Coba
tahukah anda apa bedanya consciousness dengan emotion
dan desire?

Saya belum melihat adanya jawaban anda terhadap
pertanyaan saya mengenai apa keputusan anda dalam
kasus euthanasia. Anda jawab bahwa pada akhirnya itu
terserah pada nurani anda. Tapi apa kata nurani anda
dalam masalah ini? Saya ingin tahu bagaimana anda bisa
paham suara murni nurani sampai menghasilkan suatu
keputusan yang bukan saja mempengaruhi kepentingan
private (pasien) tapi juga kepentingan public
(melibatkan keluarga si pasien). Bila negara/hukum
berlepas tangan terhadap urusan ini, mengapa anda
bilang nurani tidak relevan lagi?

Seorang dokter yang memiliki nurani dan authority
dalam menentukan keputusan, tentunya bisa membiarkan
pasiennya menderita sampai mati, atau membantunya
bunuh diri untuk mengakhirkan penderitaannya.
Bagaimana lagi kalau keluarga sang pasien menentang
hal ini sedang si pasien sendiri memohonnya? Mana yang
anda nilai lebih berhak anda ikuti, keluarga pasien
atau pasien sendiri atau nurani anda? Masalahnya sudah
masuk dalam lingkup public karena bersentuhan dengan
kepentingan banyak orang (pasien vs. keluarga pasien
vs. anda sendiri).

Contoh yang anda berikan tentang seorang gadis yang
terjun ke dunia pelacuran dengan alasan satu2nya jalan
untuk menyelamatkan keluarganya tidak klop dengan
argumentasi yang anda mau pertahankan, dengan alasan:

1. Apakah menjadi pelacur ini sesuai dengan "nurani"
mereka? Apakah nurani mereka tidak merasakan
sedikitpun rasa "malu" dan "keberatan" untuk merelakan
kehormatannya dinikmati banyak orang hanya dengan
alasan "'SATU2NYA' jalan untuk menyelamatkan
keluarga". Perasaan guilty akibat suatu perbuatan bisa
disurpressed dengan berbagai excuses dan bila sudah
terbiasa melakukan perbuatan tsb perasaan ini akan
mengendap dibawah alam bawah sadar sehingga sulit
untuk dirasa. "Kalla bal rana 'ala qulubihim ma kanu
yaksibun" (83:14).

Banyak wanita yang lebih memilih mati daripada
kehilangan kehormatannya atau melacurkan diri. Apakah
"nurani" kelompok ini dengan "nurani" kelompok yang
memilih melacur jauh beda? Apa yang menyebabkan
"nurani" satu orang bisa beda dengan
"nurani" orang lain? Kalau menurut anda setiap orang
berhak melakukan apa saja atas dasar nurani mereka
masing2, sedang tidak sedikit kita jumpai adanya
perbedaan antar "nurani" orang satu dengan lainnya dan
sering terjadi konflik, kita balik lagi ke square one
lagi seperti posting saya sebelumnya.

Pertanyaan mendasar keluar lagi: Apa patokannya anda
bisa bilang satu perbuatan seseorang bisa dibilang
didasarkan pada nuraninya (consciousness)? Dan apa
kriterianya perbuatan tsb bisa dibilang ethical/
morally acceptable?

2. Apakah terjunnya gadis tsb ke pelacuran ini tidak
akan melibatkan kepentingan pihak lain? Bagaimana
dengan keluarganya yang kemungkinan besar akan sangat
keberatan bila akhirnya mengetahui apa yang terjadi?
Mereka akan kehilangan muka dan kehormatannya di
masyarakat bila diketahui anak gadis mereka menjadi
seorang pelacur. Tindakan melacur tidak saja membawa
financial benefit buat si pelacur tapi juga a loss of
dignity for her family. Belum lagi nasib orang2 yang
involve dalam aktivitas pelacuran tsb. Berapa keluarga
akan hancur berantakan bila anak dan istri dari setiap
pelanggan pelacuran ini akhirnya mengetahui ayah
mereka atau suami mereka bermain sex dengan pelacur?

Sudah banyak rekan2 di milis ini membawa contoh2 yang
menunjukkan bahwa definisi ruang lingkup private dan
public dalam urusan moral adalah "blurry". Manusia itu
makhluk sosial dan kebanyakan aktivitas kehidupannya
akan bersangkutan dengan kehidupan orang lain.
Affairnya seorang suami dengan istri orang lain bukan
lagi private, tapi public karena sudah melibatkan
kepentingan pihak ketiga (keluarga dua belah pihak).
Dimana nafsu sudah menjadi Tuhan, urusan lain ditaruh
di belakang.

Homicide rate di suatu masyarakat cenderung meningkat
ketika promiscuous life style meningkat. Seorang istri
yang melihat suaminya sedang berzina dengan perempuan
lain, "nurani"nya mungkin akan mendorongnya untuk
menghukum tindakan treacherous suaminya yang
"menyakitkan" hatinya ini. Padahal bisa saja si suami
bermain sex dengan perempuan lain tsb karena
berdasarkan dorongan "nurani"nya pula, mungkin dengan
alasan untuk menyenangkan hati perempuan partner
sexnya. Perbuatan serong dan balas dendam yang tadinya
diklaim berdasarkan "nurani" masing-masing pihak
(private) yang dikira tidak membawa dampak apa2 pada
ruang lingkup public ternyata bisa merembet ke mana2
dan membawa output negative pada society in general.


B. Mengenai agama dan standard for morality

Statement bahwa aturan agama bagi anda adalah kedua
atau ketiga, ini menurut saya didasarkan pada asumsi
yang labil dan tidak bisa dipegang karena berdasarkan
generalisasi. Asumsi anda (tolong koreksi kalau saya
salah): "nurani" setiap orang bisa dijadikan hakim
atau kriteria mana benar dan salah atau mana baik dan
buruk dalam urusan private. Asumsi ini tidak selalu
benar. Dalam banyak kasus, "nurani" setiap orang tidak
selalu sama dalam menilai suatu perbuatan. Banyak
faktor yang bisa mempengaruhi nurani setiap manusia.
Orang bisa saja bilang perbuatannya didasarkan pada
nuraninya padahal hanya karena nafsunya belaka. Sekali
lagi kita balik ke square one: "nurani" mana yang anda
mau pakai sebagai standard of morality?

Saya sendiri berpendapat bahwa pada dasarnya nurani
setiap manusia ini sama dalam menilai baik dan buruk,
tapi dalam perjalanan hidup, nurani bisa disurpress,
dipaksa oleh nafsu untuk "tutup mulut", atau
bersembunyi karena pemiliknya terbiasa berbuat hal
yang "ditentangnya". Karena hilangnya suara "asli"
sang nurani dan terlahir banyak ketidakjelasan dalam
menilai mana benar mana salah, mana baik dan mana
buruk, agama diturunkan Pencipta manusia dengan salah
satu fungsinya untuk memotivasi manusia membebaskan
nurani dari kungkungan nafsu ini dan mengingatkan
kembali nilai2 asli yang disuarakannya akan kebaikan
dan keburukan. Agama menjadi patokan standard nilai2
asli yang dimiliki oleh nurani manusia. Bukan
sebaliknya, "nurani" yang tidak jelas dijadikan nomor
satu, sedang agama nomor dua atau tiga.

Al Quran jelas2 menyebutkan:

"Fa alhamaha fujuraha wa taqwaha. Qad aflaha man
zakkaha wa qad khaba man dassaha" (91:8-10). 
"Fa aqim wajhaka liddini hanifa. Fithratallahillati
fatharannasi 'alaiha" (30:30).
"Fa imma ya'tiyannakum minni hudan, fa man tabi'a
hudayya fa la khaufun 'alaihim wa la hum yahzanun"
(2:37).

Dan banyak ayat2 lainnya yang serupa.

Menurut saya, agama yang diturunkan Tuhan pencipta
manusia berfungsi untuk mengingatkan kembali manusia
akan latar belakangnya (where from?), misi dan tugas
hidupnya di bumi (why here?), dan tujuan hidupnya
(where to go?), mencakup pengenalan terhadap Tuhan
penciptanya (who is God?), bagaimana cara menjalani
tugasnya di bumi (how to live?), dan apa yang akan
terjadi setelah selesai tugasnya di bumi (what is
next?). Ini the essence of religion. Comprehensive dan
tidak partial. Mengenai cara (rules/law/syari'at)
setiap zaman bisa berbeda2 dari rasul ke rasul.
Essensi/spirit of the law adalah sama: mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Bukan di dunia saja,
tapi juga akhirat (2:201).

Yang perlu digarisbawahi di sini, adalah bahwa
"keeping the spirit of the law" bukan langsung berarti
kita bisa "deliberately abandon the law". Kalau kita
mengikuti the letter of the law without knowing the
spirit of the law, tidak akan dirasakan wisdom/hikmah
dalam penerapan law tsb. Reluctancy and resistency
akan muncul akibat penerapan law
yang tidak disertai wisdom. Persis seperti kasus kaum
Pharisee yang dikritik oleh Jesus dalam kisah di
Bible. Begitu pula sebaliknya kalau kita melepaskan
diri dari law dan hanya menuruti spirit of the law
saja. Akan serupa dengan apa yang diajarkan Paul di
Bible. Sedikit demi sedikit, hukum2 agama kita preteli
satu persatu, lambat laun, kita akan menjadi orang2
yang lawlessness, the followers of conjectures and our
own feeling and desires.

Mudah2an kita tidak termasuk mereka yang mengatakan:
"I do really love You, God. But I think your
revelation sucks. I know better what best for my
life."


Wallahu'alam.

Tanggapan terhadap Ulil tentang Moralitas - Part 1

Berikut ini tanggapan saya terhadap tulisan Ulil
Abshar Abdala yang dulu pernah dipost di milis
islamliberal mengenai standard pendefinisian nilai2
moralitas dalam kehidupan manusia (dalam
private-public sektor). Mudah2an ada manfaatnya.


1. Dilihat dari sudut pandang filsafat

Kalau ukuran kebenaran dan etika didasarkan hanya
kepada perasaan/feeling seseorang, apa gunanya lagi
agama (baca: Islam)? Toh kalau sudah ada built-in tool
untuk menentukan mana benar mana salah, mana baik mana
buruk, baik pada level individu maupun masyarakat,
tidak perlu lagi kita menggunakan kertas2 yang hanya
bisa diyakini sebagai "wahyu" yang bisa dijadikan
standard kebenaran. Kalau perasaan/hati/feeling sudah
cukup untuk bisa dipakai menentukan mana benar dan
salah, buat apa lagi susah2 menggunakan agama?

Kita sadari setiap manusia memiliki feeling yang
berbeda2. Manusia yang sama pun memiliki feeling yang
berbeda2 tergantung situasi dan kondisi yang berbeda
pula. Apakah standard macam ini yang labil bisa
dijadikan standard kebenaran (moral) yang bisa
dijadikan patokan?

Bagi orang yang tidak terbiasa free sex (main sex
dengan istri orang), itu adalah immoral. Tapi bagi
yang sudah terbiasa, having an affair sah2 saja.
What's wrong with having sex? Sex is fun, why does God
hate us for having fun? Kata sebagian teman2 saya di
college dulu.

Feeling yang dimiliki manusia complex dan bisa berubah
karena pengaruh lingkungan. Kalau sudah begitu, apakah
masih mau mengandalkan feeling? Feeling siapa yang
bisa dijadikan standard? Feeling seorang Dalai lama
yang tinggal di tibet sana? Atau feeling seorang
pelacur yang sudah terlena dengan business
pleasurenya?

Dalam masalah2 simple dan basic mungkin saja feeling
manusia bisa memilah mana benar dan salah, yang
sebagian orang menyebutnya universal moral standard,
seperti salahnya menghukum seorang yang tidak
bersalah, tidak etis membentak dan menampar orang tua,
tidak benar menzalimi orang, dlsb. Tapi dalam banyak
hal yang complex/tidak simple, apakah mampu feeling
menjudge mana salah dan benar? Sampai sekarangpun
banyak social issues seperti capital punishment,
abortion, euthanasia, homosexual, war, dan issue2
lainnya masih dalam perdebatan whether or not it is
ethical or acceptable. Apa alasannya bisa bilang ini
salah dan itu benar? Bukankah sampai sekarang tidak
ada kata sepakat dari orang2 yang mendasarkan standard
kebenaran pada feeling dan otak mereka saja? Lalu
bagaimana anda memutuskannya dengan feeling?

Bayangkan misalnya anda menjadi seorang dokter yang
mendapat permintaan euthanasia (mercy killing) dari
seorang pasien anda.

- Apakah anda akan merasa senang membunuh pasien anda
(dengan menghentikan semua alat life-supportnya)?
Pasien anda mungkin akan senang karena merasa akan
terlepas dari pain/suffering yang dialaminya setelah
mati. Tapi apakah anda senang telah menghilangkan
nyawa orang?
- Kalau anda tidak senang (menjadi pembunuh), apakah
tindakan itu perlu anda lakukan untuk membuat senang
pasien anda? Apakah paksakan feeling anda membenarkan
tindakan ini karena merasa perlu dilakukan?

Saya ingin tahu jawaban anda dalam situasi demikian
dengan menggunakan feeling. Ini pun baru satu contoh.
Banyak contoh lainnya. Misalnya mendapat kesempatan
emas to have an affair with a beautiful woman, without
getting caught by your wife. You are happy, your sex
partner is happy, and your wife doesn't know so nobody
gets hurt. Apakah ini menjadi benar dan ethical?
Apakah kebohongan dan pengibulan (kalau tidak
ketahuan) akan menjadi suatu hal yang benar, ethical
dan acceptable?

Kalau setiap hal di atas tidak selalu benar, dan tidak
selalu salah, tapi tergantung dari situasi dan suara
hati kita, seperti yang dikatakan sebagian orang bahwa
salah dan benar itu adalah cara kita memandangnya
saja, konsekwensinya tidak ada kebenaran dan kebaikan
yang absolute dalam kehidupan ini. Semua serba
relatif. Anda akan menjadi pembela moral relativism.
Mengapa anda musti menyalahkan si Charles Manson, Ted
Bundy, dan para pembunuh serial lainnya ketika
membunuh banyak orang misalnya? Mengapa anda musti
menyalahkan pembantaian2 yang dilakukan Nazis di WWII?
Mengapa musti kita salahkan Serbs ketika membantai
Bosnians? Mengapa anda musti salahkan orang2 yang
memperkosa dan menzalimi ibu, istri dan anak perempuan
anda, misalnya? Toh semuanya serba relatif dalam cara
memandangnya. Bagi mereka perbuatan mereka enjoyable
and give them pleasure, dan bukankah ini otomatis
menjadi benar menurut feeling mereka?

Sebagian orang berpendapat bahwa standard moral dan
etika bisa di dasarkan kepada feeling dengan
mencocokkannya secara logis terhadap kondisi alam
semesta dan kehidupan manusia. Alam dan kehidupan
manusia mengajarkan kepada kita survival the fittest,
siapa kuat dia yang berhak bertahan/survive. Yang
lemah, die, and they do die. Cacing dimakan ayam, ayam
dimakan musang, musang dimakan macan. Macan mati
dimakan cacing. Circle of life. Logikanya, bukankah
tidak salah (immoral/unethical) mereka saling memakan?
Apakah ini bisa kita jadikan standard morality? Jadi
boleh2 saja kita jadi "bully" mempermainkan dan take
advantage terhadap yang lemah? Toh katanya kita harus
belajar dari alam?

Kembali lagi kita ke square one. Filsafat itu apa sih?
Banyak diskusi mengenai standard moral dan etika sejak
zaman dahulu yang dibahas dalam ilmu filsafat etika.
Sampai sekarang tidak ada yang bisa bilang bahwa dari
sekian panjang perdebatan ide2 dari para ethic
philosophers seperti Socrates, Plato, Augustine,
Aquinas, Machiavelli, Hobbes, Marx, Mills, Bentham,
Kant, Hume, Sartre, Freud, etc. dapat diambil satu
kesimpulan definisi ethical or moral, or the
difference between good and evil.

Filsafat menurut saya hanya salah satu alat yang
digunakan manusia dalam menjawab pertanyaan dimana
akal dan panca indera sudah stop tidak bisa memberikan
jawaban lebih lanjut. Sama dengan stopnya akal ketika
berusaha menjawab ada apa setelah manusia mati. Akal
stop, filsafat dimasuki. Filsafat tidak bisa
dibuktikan benar atau tidaknya karena hanya bersifat
spekulasi saja. Bisa benar bisa salah.

Filsafat materialisme bilang setelah mati tidak ada
alam ruh dan akhirat. Filsafat spiritualisme bilang
akan ada alam baru setelah mati. Tidak ada bukti. Mana
yang benar, tidak ada yang tahu, karena diluar
jangkauan observasi dan empirical experiment. Tapi
bagaimana kalau orang benar2 butuh akan informasi ini?
Ia melihat banyak orang mati, dan ia ingin tahu akan
ada apa setelah mati. Ia menjadi stress dan kuatir
akan apa yang terjadi setelah mati. Agama, yang
mengklaim berdasarkan wahyu dari Tuhan pencipta
manusia, pun mulai dilirik.

Masalah etika/moral pun demikian halnya. Di mana
manusia sudah kecapaian berenang mengarungi lautan
perdebatan konsep filsafat yang berbeda2 yang tidak
jelas juga mana yang bisa dijamin kebenarannya, pada
akhirnya agama pulalah yang diliriknya.

Menurut saya, sumber pengetahuan manusia ada tiga:
reason, observation & revelation. Reason (akal) dan
observation (panca indera) dapat dipakai dalam
memahami beberapa hal yang memang bisa dijelajahi
saja, sedang revelation datang untuk menjelaskan hal2
yang tidak bisa dijelajahi lagi.

Wa minannasi mayyujadillu fillah bi ghairi 'ilm, wa la
hudan, wa la kitabimmunir... (22:8)


2. Dilihat dari sudut pandang Islam

Dalam Islam (jelas2 disebutkan dalam Al Qur'an), Tuhan
pencipta manusia dan alam semesta tidak serta merta
meninggalkan manusia setelah menciptakannya tanpa
memberikannya guidance/petunjuk bagaimana cara
mengarungi kehidupannya di muka bumi, baik secara
individu maupun bermasyarakat, dari masa ke masa.
Islam itu mengatur hablumminallah dan hablumminannas.
Bukan hanya level individu tapi juga level masyarakat.

Kalau menurut saya, teori bung Ulil dalam awal thread
tentang private and public implementation of Islam,
didasarkan pada asumsi bahwa kalau semua (mayoritas)
individual sudah menjalankan ajaran Islam dalam
kehidupannya, maka otomatis secara demokratis ajaran
Islam akan terterapkan dalam komunitas tsb. Tapi
konsekwensi lainnya, kalau mayoritas individualnya
mengabandon nilai2 Islam dan lebih prefer kepada
nilai2 yang melanggar ajaran Islam (contohnya banyak
dari hal2 kecil sampai hal2 besar seperti free sex,
drugs, crimes, anarchy, etc.), maka secara demokratis
(suara terbanyak yang menang), komunitas tsb akan
menerapkan nilai2 yang lebih mereka prefer ini. Akan
terbentuklah law/undang2 yang memprotek nilai2 ini
dalam prakteknya di kehidupan sehari2. Bisa jadi pihak
minoritas yang tidak setuju dengan law tsb akan dicap
rebel dan kriminal.

Dibaca dari argumentasinya, menurut saya, bung Ulil
melihat sebagian ajaran Islam hanya diperuntukkan oleh
orang2 zaman dahulu kala saja (di zaman Nabi SAW)
tidak untuk zaman modern ini, sehingga boleh dibuang
atau bahkan HARUS dibuang untuk memaintain order in
the society. Saya ingin tahu dari mana dasarnya bahwa
ajaran2 Islam itu ada yang bisa dibuang dan tidak
berlaku lagi hukumnya saat ini (tidak termasuk ayat2
yang sudah dinasakh hukumnya). Kalau memang patokannya
adalah kesesuaian feeling dengan trend di zaman modern
ini, apakah nanti kalau homosexual, adultery,
cheating, anarchy, menjadi acceptable norms of
behavior di masyarakat, Islam harus disesuaikan pula
dengan norms ini? Apakah ada dalil2nya dalam sumber
hukum Islam bahwa ajaran2 Islam itu sebagiannya bisa
dibuang/dimodifikasi sesuai zaman? Ajaran2 yang mana
saja itu?

Kalau menurut saya, sebenarnya inti permasalahannya
(ketidakenakkan perasaan yang berlanjut ke dalam
diskusi panjang ini) berkisar kepada pemaksaan
penafsiran terhadap beberapa ajaran Islam yang
cabang/furu' yang dijadikan absolute dan ditempatkan
pada prioritas teratas dalam suatu masyarakat/
komunitas Muslim yang plural, meskipun jelas2 ada
perbedaan pendapat dan penafsiran di kalangan ulama
dalam Islam terhadap hal tsb. Mereka yang tidak sama
penafsirannya dengan mereka yang berkuasa akan dicap
munafik, atau bahkan kafir, tanpa ada usaha
mendiskusikannya secara terbuka sehingga tahu segala
duduk permasalahannya dan perbedaan sudut
memandangnya, serta dengan lapang dada memahami
perbedaan yang ada.

Sedangkan pemaksaan penafsiran ini saya rasa tidak
menyinggung hal2 yang sudah qath'i atau jelas hukumnya
yang tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya, seperti
haramnya berzina, haramnya mencuri, haramnya meminum
memabukkan, haramnya menzalimi diri sendiri dan orang
lain, dst, yang jelas2 digariskan dalam sumber hukum
Islam. Apakah hukum2 yang qath'i ini bisa dimodifikasi
dan dibuang dengan dasar feeling seseorang ataupun
sebagian orang di zaman modern ini? Mungkin ada
baiknya kita balik ke square one lagi...

Wallahu'alam.