Berikut ini lanjutan tanggapan saya terhadap tanggapan
Ulil Abshar Abdala yang dulu pernah dipost di
islamliberal. Mudah2an bermanfaat.
A. Mengenai nurani serta lingkup urusan private &
public
Nurani (consciousness) dan feeling (perasaan) dalam
konteks kejiwaan menurut saya adalah sama. Kalau
konteksnya lain, misalnya perasaan sakit ketika
tertusuk duri dicompare dengan perasaan bersalah
ketika membentak orangtua, tentunya beda. To have a
feeling is to be conscious, and to be conscious is to
have a feeling. Dalam ilmu psychology dan
neuroscience, consciousness manusia ini masih dalam
kategori uncharted territory atau masih merupakan
misteri. Tidak ada yang tahu secara pasti apa yang
dinamakan nurani (consciousness) itu dan dimana
letaknya. Ia hanya bisa "dirasa" keabstrakannya. Coba
tahukah anda apa bedanya consciousness dengan emotion
dan desire?
Saya belum melihat adanya jawaban anda terhadap
pertanyaan saya mengenai apa keputusan anda dalam
kasus euthanasia. Anda jawab bahwa pada akhirnya itu
terserah pada nurani anda. Tapi apa kata nurani anda
dalam masalah ini? Saya ingin tahu bagaimana anda bisa
paham suara murni nurani sampai menghasilkan suatu
keputusan yang bukan saja mempengaruhi kepentingan
private (pasien) tapi juga kepentingan public
(melibatkan keluarga si pasien). Bila negara/hukum
berlepas tangan terhadap urusan ini, mengapa anda
bilang nurani tidak relevan lagi?
Seorang dokter yang memiliki nurani dan authority
dalam menentukan keputusan, tentunya bisa membiarkan
pasiennya menderita sampai mati, atau membantunya
bunuh diri untuk mengakhirkan penderitaannya.
Bagaimana lagi kalau keluarga sang pasien menentang
hal ini sedang si pasien sendiri memohonnya? Mana yang
anda nilai lebih berhak anda ikuti, keluarga pasien
atau pasien sendiri atau nurani anda? Masalahnya sudah
masuk dalam lingkup public karena bersentuhan dengan
kepentingan banyak orang (pasien vs. keluarga pasien
vs. anda sendiri).
Contoh yang anda berikan tentang seorang gadis yang
terjun ke dunia pelacuran dengan alasan satu2nya jalan
untuk menyelamatkan keluarganya tidak klop dengan
argumentasi yang anda mau pertahankan, dengan alasan:
1. Apakah menjadi pelacur ini sesuai dengan "nurani"
mereka? Apakah nurani mereka tidak merasakan
sedikitpun rasa "malu" dan "keberatan" untuk merelakan
kehormatannya dinikmati banyak orang hanya dengan
alasan "'SATU2NYA' jalan untuk menyelamatkan
keluarga". Perasaan guilty akibat suatu perbuatan bisa
disurpressed dengan berbagai excuses dan bila sudah
terbiasa melakukan perbuatan tsb perasaan ini akan
mengendap dibawah alam bawah sadar sehingga sulit
untuk dirasa. "Kalla bal rana 'ala qulubihim ma kanu
yaksibun" (83:14).
Banyak wanita yang lebih memilih mati daripada
kehilangan kehormatannya atau melacurkan diri. Apakah
"nurani" kelompok ini dengan "nurani" kelompok yang
memilih melacur jauh beda? Apa yang menyebabkan
"nurani" satu orang bisa beda dengan
"nurani" orang lain? Kalau menurut anda setiap orang
berhak melakukan apa saja atas dasar nurani mereka
masing2, sedang tidak sedikit kita jumpai adanya
perbedaan antar "nurani" orang satu dengan lainnya dan
sering terjadi konflik, kita balik lagi ke square one
lagi seperti posting saya sebelumnya.
Pertanyaan mendasar keluar lagi: Apa patokannya anda
bisa bilang satu perbuatan seseorang bisa dibilang
didasarkan pada nuraninya (consciousness)? Dan apa
kriterianya perbuatan tsb bisa dibilang ethical/
morally acceptable?
2. Apakah terjunnya gadis tsb ke pelacuran ini tidak
akan melibatkan kepentingan pihak lain? Bagaimana
dengan keluarganya yang kemungkinan besar akan sangat
keberatan bila akhirnya mengetahui apa yang terjadi?
Mereka akan kehilangan muka dan kehormatannya di
masyarakat bila diketahui anak gadis mereka menjadi
seorang pelacur. Tindakan melacur tidak saja membawa
financial benefit buat si pelacur tapi juga a loss of
dignity for her family. Belum lagi nasib orang2 yang
involve dalam aktivitas pelacuran tsb. Berapa keluarga
akan hancur berantakan bila anak dan istri dari setiap
pelanggan pelacuran ini akhirnya mengetahui ayah
mereka atau suami mereka bermain sex dengan pelacur?
Sudah banyak rekan2 di milis ini membawa contoh2 yang
menunjukkan bahwa definisi ruang lingkup private dan
public dalam urusan moral adalah "blurry". Manusia itu
makhluk sosial dan kebanyakan aktivitas kehidupannya
akan bersangkutan dengan kehidupan orang lain.
Affairnya seorang suami dengan istri orang lain bukan
lagi private, tapi public karena sudah melibatkan
kepentingan pihak ketiga (keluarga dua belah pihak).
Dimana nafsu sudah menjadi Tuhan, urusan lain ditaruh
di belakang.
Homicide rate di suatu masyarakat cenderung meningkat
ketika promiscuous life style meningkat. Seorang istri
yang melihat suaminya sedang berzina dengan perempuan
lain, "nurani"nya mungkin akan mendorongnya untuk
menghukum tindakan treacherous suaminya yang
"menyakitkan" hatinya ini. Padahal bisa saja si suami
bermain sex dengan perempuan lain tsb karena
berdasarkan dorongan "nurani"nya pula, mungkin dengan
alasan untuk menyenangkan hati perempuan partner
sexnya. Perbuatan serong dan balas dendam yang tadinya
diklaim berdasarkan "nurani" masing-masing pihak
(private) yang dikira tidak membawa dampak apa2 pada
ruang lingkup public ternyata bisa merembet ke mana2
dan membawa output negative pada society in general.
B. Mengenai agama dan standard for morality
Statement bahwa aturan agama bagi anda adalah kedua
atau ketiga, ini menurut saya didasarkan pada asumsi
yang labil dan tidak bisa dipegang karena berdasarkan
generalisasi. Asumsi anda (tolong koreksi kalau saya
salah): "nurani" setiap orang bisa dijadikan hakim
atau kriteria mana benar dan salah atau mana baik dan
buruk dalam urusan private. Asumsi ini tidak selalu
benar. Dalam banyak kasus, "nurani" setiap orang tidak
selalu sama dalam menilai suatu perbuatan. Banyak
faktor yang bisa mempengaruhi nurani setiap manusia.
Orang bisa saja bilang perbuatannya didasarkan pada
nuraninya padahal hanya karena nafsunya belaka. Sekali
lagi kita balik ke square one: "nurani" mana yang anda
mau pakai sebagai standard of morality?
Saya sendiri berpendapat bahwa pada dasarnya nurani
setiap manusia ini sama dalam menilai baik dan buruk,
tapi dalam perjalanan hidup, nurani bisa disurpress,
dipaksa oleh nafsu untuk "tutup mulut", atau
bersembunyi karena pemiliknya terbiasa berbuat hal
yang "ditentangnya". Karena hilangnya suara "asli"
sang nurani dan terlahir banyak ketidakjelasan dalam
menilai mana benar mana salah, mana baik dan mana
buruk, agama diturunkan Pencipta manusia dengan salah
satu fungsinya untuk memotivasi manusia membebaskan
nurani dari kungkungan nafsu ini dan mengingatkan
kembali nilai2 asli yang disuarakannya akan kebaikan
dan keburukan. Agama menjadi patokan standard nilai2
asli yang dimiliki oleh nurani manusia. Bukan
sebaliknya, "nurani" yang tidak jelas dijadikan nomor
satu, sedang agama nomor dua atau tiga.
Al Quran jelas2 menyebutkan:
"Fa alhamaha fujuraha wa taqwaha. Qad aflaha man
zakkaha wa qad khaba man dassaha" (91:8-10).
"Fa aqim wajhaka liddini hanifa. Fithratallahillati
fatharannasi 'alaiha" (30:30).
"Fa imma ya'tiyannakum minni hudan, fa man tabi'a
hudayya fa la khaufun 'alaihim wa la hum yahzanun"
(2:37).
Dan banyak ayat2 lainnya yang serupa.
Menurut saya, agama yang diturunkan Tuhan pencipta
manusia berfungsi untuk mengingatkan kembali manusia
akan latar belakangnya (where from?), misi dan tugas
hidupnya di bumi (why here?), dan tujuan hidupnya
(where to go?), mencakup pengenalan terhadap Tuhan
penciptanya (who is God?), bagaimana cara menjalani
tugasnya di bumi (how to live?), dan apa yang akan
terjadi setelah selesai tugasnya di bumi (what is
next?). Ini the essence of religion. Comprehensive dan
tidak partial. Mengenai cara (rules/law/syari'at)
setiap zaman bisa berbeda2 dari rasul ke rasul.
Essensi/spirit of the law adalah sama: mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Bukan di dunia saja,
tapi juga akhirat (2:201).
Yang perlu digarisbawahi di sini, adalah bahwa
"keeping the spirit of the law" bukan langsung berarti
kita bisa "deliberately abandon the law". Kalau kita
mengikuti the letter of the law without knowing the
spirit of the law, tidak akan dirasakan wisdom/hikmah
dalam penerapan law tsb. Reluctancy and resistency
akan muncul akibat penerapan law
yang tidak disertai wisdom. Persis seperti kasus kaum
Pharisee yang dikritik oleh Jesus dalam kisah di
Bible. Begitu pula sebaliknya kalau kita melepaskan
diri dari law dan hanya menuruti spirit of the law
saja. Akan serupa dengan apa yang diajarkan Paul di
Bible. Sedikit demi sedikit, hukum2 agama kita preteli
satu persatu, lambat laun, kita akan menjadi orang2
yang lawlessness, the followers of conjectures and our
own feeling and desires.
Mudah2an kita tidak termasuk mereka yang mengatakan:
"I do really love You, God. But I think your
revelation sucks. I know better what best for my
life."
Wallahu'alam.
Ulil Abshar Abdala yang dulu pernah dipost di
islamliberal. Mudah2an bermanfaat.
A. Mengenai nurani serta lingkup urusan private &
public
Nurani (consciousness) dan feeling (perasaan) dalam
konteks kejiwaan menurut saya adalah sama. Kalau
konteksnya lain, misalnya perasaan sakit ketika
tertusuk duri dicompare dengan perasaan bersalah
ketika membentak orangtua, tentunya beda. To have a
feeling is to be conscious, and to be conscious is to
have a feeling. Dalam ilmu psychology dan
neuroscience, consciousness manusia ini masih dalam
kategori uncharted territory atau masih merupakan
misteri. Tidak ada yang tahu secara pasti apa yang
dinamakan nurani (consciousness) itu dan dimana
letaknya. Ia hanya bisa "dirasa" keabstrakannya. Coba
tahukah anda apa bedanya consciousness dengan emotion
dan desire?
Saya belum melihat adanya jawaban anda terhadap
pertanyaan saya mengenai apa keputusan anda dalam
kasus euthanasia. Anda jawab bahwa pada akhirnya itu
terserah pada nurani anda. Tapi apa kata nurani anda
dalam masalah ini? Saya ingin tahu bagaimana anda bisa
paham suara murni nurani sampai menghasilkan suatu
keputusan yang bukan saja mempengaruhi kepentingan
private (pasien) tapi juga kepentingan public
(melibatkan keluarga si pasien). Bila negara/hukum
berlepas tangan terhadap urusan ini, mengapa anda
bilang nurani tidak relevan lagi?
Seorang dokter yang memiliki nurani dan authority
dalam menentukan keputusan, tentunya bisa membiarkan
pasiennya menderita sampai mati, atau membantunya
bunuh diri untuk mengakhirkan penderitaannya.
Bagaimana lagi kalau keluarga sang pasien menentang
hal ini sedang si pasien sendiri memohonnya? Mana yang
anda nilai lebih berhak anda ikuti, keluarga pasien
atau pasien sendiri atau nurani anda? Masalahnya sudah
masuk dalam lingkup public karena bersentuhan dengan
kepentingan banyak orang (pasien vs. keluarga pasien
vs. anda sendiri).
Contoh yang anda berikan tentang seorang gadis yang
terjun ke dunia pelacuran dengan alasan satu2nya jalan
untuk menyelamatkan keluarganya tidak klop dengan
argumentasi yang anda mau pertahankan, dengan alasan:
1. Apakah menjadi pelacur ini sesuai dengan "nurani"
mereka? Apakah nurani mereka tidak merasakan
sedikitpun rasa "malu" dan "keberatan" untuk merelakan
kehormatannya dinikmati banyak orang hanya dengan
alasan "'SATU2NYA' jalan untuk menyelamatkan
keluarga". Perasaan guilty akibat suatu perbuatan bisa
disurpressed dengan berbagai excuses dan bila sudah
terbiasa melakukan perbuatan tsb perasaan ini akan
mengendap dibawah alam bawah sadar sehingga sulit
untuk dirasa. "Kalla bal rana 'ala qulubihim ma kanu
yaksibun" (83:14).
Banyak wanita yang lebih memilih mati daripada
kehilangan kehormatannya atau melacurkan diri. Apakah
"nurani" kelompok ini dengan "nurani" kelompok yang
memilih melacur jauh beda? Apa yang menyebabkan
"nurani" satu orang bisa beda dengan
"nurani" orang lain? Kalau menurut anda setiap orang
berhak melakukan apa saja atas dasar nurani mereka
masing2, sedang tidak sedikit kita jumpai adanya
perbedaan antar "nurani" orang satu dengan lainnya dan
sering terjadi konflik, kita balik lagi ke square one
lagi seperti posting saya sebelumnya.
Pertanyaan mendasar keluar lagi: Apa patokannya anda
bisa bilang satu perbuatan seseorang bisa dibilang
didasarkan pada nuraninya (consciousness)? Dan apa
kriterianya perbuatan tsb bisa dibilang ethical/
morally acceptable?
2. Apakah terjunnya gadis tsb ke pelacuran ini tidak
akan melibatkan kepentingan pihak lain? Bagaimana
dengan keluarganya yang kemungkinan besar akan sangat
keberatan bila akhirnya mengetahui apa yang terjadi?
Mereka akan kehilangan muka dan kehormatannya di
masyarakat bila diketahui anak gadis mereka menjadi
seorang pelacur. Tindakan melacur tidak saja membawa
financial benefit buat si pelacur tapi juga a loss of
dignity for her family. Belum lagi nasib orang2 yang
involve dalam aktivitas pelacuran tsb. Berapa keluarga
akan hancur berantakan bila anak dan istri dari setiap
pelanggan pelacuran ini akhirnya mengetahui ayah
mereka atau suami mereka bermain sex dengan pelacur?
Sudah banyak rekan2 di milis ini membawa contoh2 yang
menunjukkan bahwa definisi ruang lingkup private dan
public dalam urusan moral adalah "blurry". Manusia itu
makhluk sosial dan kebanyakan aktivitas kehidupannya
akan bersangkutan dengan kehidupan orang lain.
Affairnya seorang suami dengan istri orang lain bukan
lagi private, tapi public karena sudah melibatkan
kepentingan pihak ketiga (keluarga dua belah pihak).
Dimana nafsu sudah menjadi Tuhan, urusan lain ditaruh
di belakang.
Homicide rate di suatu masyarakat cenderung meningkat
ketika promiscuous life style meningkat. Seorang istri
yang melihat suaminya sedang berzina dengan perempuan
lain, "nurani"nya mungkin akan mendorongnya untuk
menghukum tindakan treacherous suaminya yang
"menyakitkan" hatinya ini. Padahal bisa saja si suami
bermain sex dengan perempuan lain tsb karena
berdasarkan dorongan "nurani"nya pula, mungkin dengan
alasan untuk menyenangkan hati perempuan partner
sexnya. Perbuatan serong dan balas dendam yang tadinya
diklaim berdasarkan "nurani" masing-masing pihak
(private) yang dikira tidak membawa dampak apa2 pada
ruang lingkup public ternyata bisa merembet ke mana2
dan membawa output negative pada society in general.
B. Mengenai agama dan standard for morality
Statement bahwa aturan agama bagi anda adalah kedua
atau ketiga, ini menurut saya didasarkan pada asumsi
yang labil dan tidak bisa dipegang karena berdasarkan
generalisasi. Asumsi anda (tolong koreksi kalau saya
salah): "nurani" setiap orang bisa dijadikan hakim
atau kriteria mana benar dan salah atau mana baik dan
buruk dalam urusan private. Asumsi ini tidak selalu
benar. Dalam banyak kasus, "nurani" setiap orang tidak
selalu sama dalam menilai suatu perbuatan. Banyak
faktor yang bisa mempengaruhi nurani setiap manusia.
Orang bisa saja bilang perbuatannya didasarkan pada
nuraninya padahal hanya karena nafsunya belaka. Sekali
lagi kita balik ke square one: "nurani" mana yang anda
mau pakai sebagai standard of morality?
Saya sendiri berpendapat bahwa pada dasarnya nurani
setiap manusia ini sama dalam menilai baik dan buruk,
tapi dalam perjalanan hidup, nurani bisa disurpress,
dipaksa oleh nafsu untuk "tutup mulut", atau
bersembunyi karena pemiliknya terbiasa berbuat hal
yang "ditentangnya". Karena hilangnya suara "asli"
sang nurani dan terlahir banyak ketidakjelasan dalam
menilai mana benar mana salah, mana baik dan mana
buruk, agama diturunkan Pencipta manusia dengan salah
satu fungsinya untuk memotivasi manusia membebaskan
nurani dari kungkungan nafsu ini dan mengingatkan
kembali nilai2 asli yang disuarakannya akan kebaikan
dan keburukan. Agama menjadi patokan standard nilai2
asli yang dimiliki oleh nurani manusia. Bukan
sebaliknya, "nurani" yang tidak jelas dijadikan nomor
satu, sedang agama nomor dua atau tiga.
Al Quran jelas2 menyebutkan:
"Fa alhamaha fujuraha wa taqwaha. Qad aflaha man
zakkaha wa qad khaba man dassaha" (91:8-10).
"Fa aqim wajhaka liddini hanifa. Fithratallahillati
fatharannasi 'alaiha" (30:30).
"Fa imma ya'tiyannakum minni hudan, fa man tabi'a
hudayya fa la khaufun 'alaihim wa la hum yahzanun"
(2:37).
Dan banyak ayat2 lainnya yang serupa.
Menurut saya, agama yang diturunkan Tuhan pencipta
manusia berfungsi untuk mengingatkan kembali manusia
akan latar belakangnya (where from?), misi dan tugas
hidupnya di bumi (why here?), dan tujuan hidupnya
(where to go?), mencakup pengenalan terhadap Tuhan
penciptanya (who is God?), bagaimana cara menjalani
tugasnya di bumi (how to live?), dan apa yang akan
terjadi setelah selesai tugasnya di bumi (what is
next?). Ini the essence of religion. Comprehensive dan
tidak partial. Mengenai cara (rules/law/syari'at)
setiap zaman bisa berbeda2 dari rasul ke rasul.
Essensi/spirit of the law adalah sama: mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Bukan di dunia saja,
tapi juga akhirat (2:201).
Yang perlu digarisbawahi di sini, adalah bahwa
"keeping the spirit of the law" bukan langsung berarti
kita bisa "deliberately abandon the law". Kalau kita
mengikuti the letter of the law without knowing the
spirit of the law, tidak akan dirasakan wisdom/hikmah
dalam penerapan law tsb. Reluctancy and resistency
akan muncul akibat penerapan law
yang tidak disertai wisdom. Persis seperti kasus kaum
Pharisee yang dikritik oleh Jesus dalam kisah di
Bible. Begitu pula sebaliknya kalau kita melepaskan
diri dari law dan hanya menuruti spirit of the law
saja. Akan serupa dengan apa yang diajarkan Paul di
Bible. Sedikit demi sedikit, hukum2 agama kita preteli
satu persatu, lambat laun, kita akan menjadi orang2
yang lawlessness, the followers of conjectures and our
own feeling and desires.
Mudah2an kita tidak termasuk mereka yang mengatakan:
"I do really love You, God. But I think your
revelation sucks. I know better what best for my
life."
Wallahu'alam.
No comments:
Post a Comment