Berikut ini tanggapan saya terhadap tulisan Ulil
Abshar Abdala yang dulu pernah dipost di milis
islamliberal mengenai standard pendefinisian nilai2
moralitas dalam kehidupan manusia (dalam
private-public sektor). Mudah2an ada manfaatnya.
1. Dilihat dari sudut pandang filsafat
Kalau ukuran kebenaran dan etika didasarkan hanya
kepada perasaan/feeling seseorang, apa gunanya lagi
agama (baca: Islam)? Toh kalau sudah ada built-in tool
untuk menentukan mana benar mana salah, mana baik mana
buruk, baik pada level individu maupun masyarakat,
tidak perlu lagi kita menggunakan kertas2 yang hanya
bisa diyakini sebagai "wahyu" yang bisa dijadikan
standard kebenaran. Kalau perasaan/hati/feeling sudah
cukup untuk bisa dipakai menentukan mana benar dan
salah, buat apa lagi susah2 menggunakan agama?
Kita sadari setiap manusia memiliki feeling yang
berbeda2. Manusia yang sama pun memiliki feeling yang
berbeda2 tergantung situasi dan kondisi yang berbeda
pula. Apakah standard macam ini yang labil bisa
dijadikan standard kebenaran (moral) yang bisa
dijadikan patokan?
Bagi orang yang tidak terbiasa free sex (main sex
dengan istri orang), itu adalah immoral. Tapi bagi
yang sudah terbiasa, having an affair sah2 saja.
What's wrong with having sex? Sex is fun, why does God
hate us for having fun? Kata sebagian teman2 saya di
college dulu.
Feeling yang dimiliki manusia complex dan bisa berubah
karena pengaruh lingkungan. Kalau sudah begitu, apakah
masih mau mengandalkan feeling? Feeling siapa yang
bisa dijadikan standard? Feeling seorang Dalai lama
yang tinggal di tibet sana? Atau feeling seorang
pelacur yang sudah terlena dengan business
pleasurenya?
Dalam masalah2 simple dan basic mungkin saja feeling
manusia bisa memilah mana benar dan salah, yang
sebagian orang menyebutnya universal moral standard,
seperti salahnya menghukum seorang yang tidak
bersalah, tidak etis membentak dan menampar orang tua,
tidak benar menzalimi orang, dlsb. Tapi dalam banyak
hal yang complex/tidak simple, apakah mampu feeling
menjudge mana salah dan benar? Sampai sekarangpun
banyak social issues seperti capital punishment,
abortion, euthanasia, homosexual, war, dan issue2
lainnya masih dalam perdebatan whether or not it is
ethical or acceptable. Apa alasannya bisa bilang ini
salah dan itu benar? Bukankah sampai sekarang tidak
ada kata sepakat dari orang2 yang mendasarkan standard
kebenaran pada feeling dan otak mereka saja? Lalu
bagaimana anda memutuskannya dengan feeling?
Bayangkan misalnya anda menjadi seorang dokter yang
mendapat permintaan euthanasia (mercy killing) dari
seorang pasien anda.
- Apakah anda akan merasa senang membunuh pasien anda
(dengan menghentikan semua alat life-supportnya)?
Pasien anda mungkin akan senang karena merasa akan
terlepas dari pain/suffering yang dialaminya setelah
mati. Tapi apakah anda senang telah menghilangkan
nyawa orang?
- Kalau anda tidak senang (menjadi pembunuh), apakah
tindakan itu perlu anda lakukan untuk membuat senang
pasien anda? Apakah paksakan feeling anda membenarkan
tindakan ini karena merasa perlu dilakukan?
Saya ingin tahu jawaban anda dalam situasi demikian
dengan menggunakan feeling. Ini pun baru satu contoh.
Banyak contoh lainnya. Misalnya mendapat kesempatan
emas to have an affair with a beautiful woman, without
getting caught by your wife. You are happy, your sex
partner is happy, and your wife doesn't know so nobody
gets hurt. Apakah ini menjadi benar dan ethical?
Apakah kebohongan dan pengibulan (kalau tidak
ketahuan) akan menjadi suatu hal yang benar, ethical
dan acceptable?
Kalau setiap hal di atas tidak selalu benar, dan tidak
selalu salah, tapi tergantung dari situasi dan suara
hati kita, seperti yang dikatakan sebagian orang bahwa
salah dan benar itu adalah cara kita memandangnya
saja, konsekwensinya tidak ada kebenaran dan kebaikan
yang absolute dalam kehidupan ini. Semua serba
relatif. Anda akan menjadi pembela moral relativism.
Mengapa anda musti menyalahkan si Charles Manson, Ted
Bundy, dan para pembunuh serial lainnya ketika
membunuh banyak orang misalnya? Mengapa anda musti
menyalahkan pembantaian2 yang dilakukan Nazis di WWII?
Mengapa musti kita salahkan Serbs ketika membantai
Bosnians? Mengapa anda musti salahkan orang2 yang
memperkosa dan menzalimi ibu, istri dan anak perempuan
anda, misalnya? Toh semuanya serba relatif dalam cara
memandangnya. Bagi mereka perbuatan mereka enjoyable
and give them pleasure, dan bukankah ini otomatis
menjadi benar menurut feeling mereka?
Sebagian orang berpendapat bahwa standard moral dan
etika bisa di dasarkan kepada feeling dengan
mencocokkannya secara logis terhadap kondisi alam
semesta dan kehidupan manusia. Alam dan kehidupan
manusia mengajarkan kepada kita survival the fittest,
siapa kuat dia yang berhak bertahan/survive. Yang
lemah, die, and they do die. Cacing dimakan ayam, ayam
dimakan musang, musang dimakan macan. Macan mati
dimakan cacing. Circle of life. Logikanya, bukankah
tidak salah (immoral/unethical) mereka saling memakan?
Apakah ini bisa kita jadikan standard morality? Jadi
boleh2 saja kita jadi "bully" mempermainkan dan take
advantage terhadap yang lemah? Toh katanya kita harus
belajar dari alam?
Kembali lagi kita ke square one. Filsafat itu apa sih?
Banyak diskusi mengenai standard moral dan etika sejak
zaman dahulu yang dibahas dalam ilmu filsafat etika.
Sampai sekarang tidak ada yang bisa bilang bahwa dari
sekian panjang perdebatan ide2 dari para ethic
philosophers seperti Socrates, Plato, Augustine,
Aquinas, Machiavelli, Hobbes, Marx, Mills, Bentham,
Kant, Hume, Sartre, Freud, etc. dapat diambil satu
kesimpulan definisi ethical or moral, or the
difference between good and evil.
Filsafat menurut saya hanya salah satu alat yang
digunakan manusia dalam menjawab pertanyaan dimana
akal dan panca indera sudah stop tidak bisa memberikan
jawaban lebih lanjut. Sama dengan stopnya akal ketika
berusaha menjawab ada apa setelah manusia mati. Akal
stop, filsafat dimasuki. Filsafat tidak bisa
dibuktikan benar atau tidaknya karena hanya bersifat
spekulasi saja. Bisa benar bisa salah.
Filsafat materialisme bilang setelah mati tidak ada
alam ruh dan akhirat. Filsafat spiritualisme bilang
akan ada alam baru setelah mati. Tidak ada bukti. Mana
yang benar, tidak ada yang tahu, karena diluar
jangkauan observasi dan empirical experiment. Tapi
bagaimana kalau orang benar2 butuh akan informasi ini?
Ia melihat banyak orang mati, dan ia ingin tahu akan
ada apa setelah mati. Ia menjadi stress dan kuatir
akan apa yang terjadi setelah mati. Agama, yang
mengklaim berdasarkan wahyu dari Tuhan pencipta
manusia, pun mulai dilirik.
Masalah etika/moral pun demikian halnya. Di mana
manusia sudah kecapaian berenang mengarungi lautan
perdebatan konsep filsafat yang berbeda2 yang tidak
jelas juga mana yang bisa dijamin kebenarannya, pada
akhirnya agama pulalah yang diliriknya.
Menurut saya, sumber pengetahuan manusia ada tiga:
reason, observation & revelation. Reason (akal) dan
observation (panca indera) dapat dipakai dalam
memahami beberapa hal yang memang bisa dijelajahi
saja, sedang revelation datang untuk menjelaskan hal2
yang tidak bisa dijelajahi lagi.
Wa minannasi mayyujadillu fillah bi ghairi 'ilm, wa la
hudan, wa la kitabimmunir... (22:8)
2. Dilihat dari sudut pandang Islam
Dalam Islam (jelas2 disebutkan dalam Al Qur'an), Tuhan
pencipta manusia dan alam semesta tidak serta merta
meninggalkan manusia setelah menciptakannya tanpa
memberikannya guidance/petunjuk bagaimana cara
mengarungi kehidupannya di muka bumi, baik secara
individu maupun bermasyarakat, dari masa ke masa.
Islam itu mengatur hablumminallah dan hablumminannas.
Bukan hanya level individu tapi juga level masyarakat.
Kalau menurut saya, teori bung Ulil dalam awal thread
tentang private and public implementation of Islam,
didasarkan pada asumsi bahwa kalau semua (mayoritas)
individual sudah menjalankan ajaran Islam dalam
kehidupannya, maka otomatis secara demokratis ajaran
Islam akan terterapkan dalam komunitas tsb. Tapi
konsekwensi lainnya, kalau mayoritas individualnya
mengabandon nilai2 Islam dan lebih prefer kepada
nilai2 yang melanggar ajaran Islam (contohnya banyak
dari hal2 kecil sampai hal2 besar seperti free sex,
drugs, crimes, anarchy, etc.), maka secara demokratis
(suara terbanyak yang menang), komunitas tsb akan
menerapkan nilai2 yang lebih mereka prefer ini. Akan
terbentuklah law/undang2 yang memprotek nilai2 ini
dalam prakteknya di kehidupan sehari2. Bisa jadi pihak
minoritas yang tidak setuju dengan law tsb akan dicap
rebel dan kriminal.
Dibaca dari argumentasinya, menurut saya, bung Ulil
melihat sebagian ajaran Islam hanya diperuntukkan oleh
orang2 zaman dahulu kala saja (di zaman Nabi SAW)
tidak untuk zaman modern ini, sehingga boleh dibuang
atau bahkan HARUS dibuang untuk memaintain order in
the society. Saya ingin tahu dari mana dasarnya bahwa
ajaran2 Islam itu ada yang bisa dibuang dan tidak
berlaku lagi hukumnya saat ini (tidak termasuk ayat2
yang sudah dinasakh hukumnya). Kalau memang patokannya
adalah kesesuaian feeling dengan trend di zaman modern
ini, apakah nanti kalau homosexual, adultery,
cheating, anarchy, menjadi acceptable norms of
behavior di masyarakat, Islam harus disesuaikan pula
dengan norms ini? Apakah ada dalil2nya dalam sumber
hukum Islam bahwa ajaran2 Islam itu sebagiannya bisa
dibuang/dimodifikasi sesuai zaman? Ajaran2 yang mana
saja itu?
Kalau menurut saya, sebenarnya inti permasalahannya
(ketidakenakkan perasaan yang berlanjut ke dalam
diskusi panjang ini) berkisar kepada pemaksaan
penafsiran terhadap beberapa ajaran Islam yang
cabang/furu' yang dijadikan absolute dan ditempatkan
pada prioritas teratas dalam suatu masyarakat/
komunitas Muslim yang plural, meskipun jelas2 ada
perbedaan pendapat dan penafsiran di kalangan ulama
dalam Islam terhadap hal tsb. Mereka yang tidak sama
penafsirannya dengan mereka yang berkuasa akan dicap
munafik, atau bahkan kafir, tanpa ada usaha
mendiskusikannya secara terbuka sehingga tahu segala
duduk permasalahannya dan perbedaan sudut
memandangnya, serta dengan lapang dada memahami
perbedaan yang ada.
Sedangkan pemaksaan penafsiran ini saya rasa tidak
menyinggung hal2 yang sudah qath'i atau jelas hukumnya
yang tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya, seperti
haramnya berzina, haramnya mencuri, haramnya meminum
memabukkan, haramnya menzalimi diri sendiri dan orang
lain, dst, yang jelas2 digariskan dalam sumber hukum
Islam. Apakah hukum2 yang qath'i ini bisa dimodifikasi
dan dibuang dengan dasar feeling seseorang ataupun
sebagian orang di zaman modern ini? Mungkin ada
baiknya kita balik ke square one lagi...
Wallahu'alam.
Abshar Abdala yang dulu pernah dipost di milis
islamliberal mengenai standard pendefinisian nilai2
moralitas dalam kehidupan manusia (dalam
private-public sektor). Mudah2an ada manfaatnya.
1. Dilihat dari sudut pandang filsafat
Kalau ukuran kebenaran dan etika didasarkan hanya
kepada perasaan/feeling seseorang, apa gunanya lagi
agama (baca: Islam)? Toh kalau sudah ada built-in tool
untuk menentukan mana benar mana salah, mana baik mana
buruk, baik pada level individu maupun masyarakat,
tidak perlu lagi kita menggunakan kertas2 yang hanya
bisa diyakini sebagai "wahyu" yang bisa dijadikan
standard kebenaran. Kalau perasaan/hati/feeling sudah
cukup untuk bisa dipakai menentukan mana benar dan
salah, buat apa lagi susah2 menggunakan agama?
Kita sadari setiap manusia memiliki feeling yang
berbeda2. Manusia yang sama pun memiliki feeling yang
berbeda2 tergantung situasi dan kondisi yang berbeda
pula. Apakah standard macam ini yang labil bisa
dijadikan standard kebenaran (moral) yang bisa
dijadikan patokan?
Bagi orang yang tidak terbiasa free sex (main sex
dengan istri orang), itu adalah immoral. Tapi bagi
yang sudah terbiasa, having an affair sah2 saja.
What's wrong with having sex? Sex is fun, why does God
hate us for having fun? Kata sebagian teman2 saya di
college dulu.
Feeling yang dimiliki manusia complex dan bisa berubah
karena pengaruh lingkungan. Kalau sudah begitu, apakah
masih mau mengandalkan feeling? Feeling siapa yang
bisa dijadikan standard? Feeling seorang Dalai lama
yang tinggal di tibet sana? Atau feeling seorang
pelacur yang sudah terlena dengan business
pleasurenya?
Dalam masalah2 simple dan basic mungkin saja feeling
manusia bisa memilah mana benar dan salah, yang
sebagian orang menyebutnya universal moral standard,
seperti salahnya menghukum seorang yang tidak
bersalah, tidak etis membentak dan menampar orang tua,
tidak benar menzalimi orang, dlsb. Tapi dalam banyak
hal yang complex/tidak simple, apakah mampu feeling
menjudge mana salah dan benar? Sampai sekarangpun
banyak social issues seperti capital punishment,
abortion, euthanasia, homosexual, war, dan issue2
lainnya masih dalam perdebatan whether or not it is
ethical or acceptable. Apa alasannya bisa bilang ini
salah dan itu benar? Bukankah sampai sekarang tidak
ada kata sepakat dari orang2 yang mendasarkan standard
kebenaran pada feeling dan otak mereka saja? Lalu
bagaimana anda memutuskannya dengan feeling?
Bayangkan misalnya anda menjadi seorang dokter yang
mendapat permintaan euthanasia (mercy killing) dari
seorang pasien anda.
- Apakah anda akan merasa senang membunuh pasien anda
(dengan menghentikan semua alat life-supportnya)?
Pasien anda mungkin akan senang karena merasa akan
terlepas dari pain/suffering yang dialaminya setelah
mati. Tapi apakah anda senang telah menghilangkan
nyawa orang?
- Kalau anda tidak senang (menjadi pembunuh), apakah
tindakan itu perlu anda lakukan untuk membuat senang
pasien anda? Apakah paksakan feeling anda membenarkan
tindakan ini karena merasa perlu dilakukan?
Saya ingin tahu jawaban anda dalam situasi demikian
dengan menggunakan feeling. Ini pun baru satu contoh.
Banyak contoh lainnya. Misalnya mendapat kesempatan
emas to have an affair with a beautiful woman, without
getting caught by your wife. You are happy, your sex
partner is happy, and your wife doesn't know so nobody
gets hurt. Apakah ini menjadi benar dan ethical?
Apakah kebohongan dan pengibulan (kalau tidak
ketahuan) akan menjadi suatu hal yang benar, ethical
dan acceptable?
Kalau setiap hal di atas tidak selalu benar, dan tidak
selalu salah, tapi tergantung dari situasi dan suara
hati kita, seperti yang dikatakan sebagian orang bahwa
salah dan benar itu adalah cara kita memandangnya
saja, konsekwensinya tidak ada kebenaran dan kebaikan
yang absolute dalam kehidupan ini. Semua serba
relatif. Anda akan menjadi pembela moral relativism.
Mengapa anda musti menyalahkan si Charles Manson, Ted
Bundy, dan para pembunuh serial lainnya ketika
membunuh banyak orang misalnya? Mengapa anda musti
menyalahkan pembantaian2 yang dilakukan Nazis di WWII?
Mengapa musti kita salahkan Serbs ketika membantai
Bosnians? Mengapa anda musti salahkan orang2 yang
memperkosa dan menzalimi ibu, istri dan anak perempuan
anda, misalnya? Toh semuanya serba relatif dalam cara
memandangnya. Bagi mereka perbuatan mereka enjoyable
and give them pleasure, dan bukankah ini otomatis
menjadi benar menurut feeling mereka?
Sebagian orang berpendapat bahwa standard moral dan
etika bisa di dasarkan kepada feeling dengan
mencocokkannya secara logis terhadap kondisi alam
semesta dan kehidupan manusia. Alam dan kehidupan
manusia mengajarkan kepada kita survival the fittest,
siapa kuat dia yang berhak bertahan/survive. Yang
lemah, die, and they do die. Cacing dimakan ayam, ayam
dimakan musang, musang dimakan macan. Macan mati
dimakan cacing. Circle of life. Logikanya, bukankah
tidak salah (immoral/unethical) mereka saling memakan?
Apakah ini bisa kita jadikan standard morality? Jadi
boleh2 saja kita jadi "bully" mempermainkan dan take
advantage terhadap yang lemah? Toh katanya kita harus
belajar dari alam?
Kembali lagi kita ke square one. Filsafat itu apa sih?
Banyak diskusi mengenai standard moral dan etika sejak
zaman dahulu yang dibahas dalam ilmu filsafat etika.
Sampai sekarang tidak ada yang bisa bilang bahwa dari
sekian panjang perdebatan ide2 dari para ethic
philosophers seperti Socrates, Plato, Augustine,
Aquinas, Machiavelli, Hobbes, Marx, Mills, Bentham,
Kant, Hume, Sartre, Freud, etc. dapat diambil satu
kesimpulan definisi ethical or moral, or the
difference between good and evil.
Filsafat menurut saya hanya salah satu alat yang
digunakan manusia dalam menjawab pertanyaan dimana
akal dan panca indera sudah stop tidak bisa memberikan
jawaban lebih lanjut. Sama dengan stopnya akal ketika
berusaha menjawab ada apa setelah manusia mati. Akal
stop, filsafat dimasuki. Filsafat tidak bisa
dibuktikan benar atau tidaknya karena hanya bersifat
spekulasi saja. Bisa benar bisa salah.
Filsafat materialisme bilang setelah mati tidak ada
alam ruh dan akhirat. Filsafat spiritualisme bilang
akan ada alam baru setelah mati. Tidak ada bukti. Mana
yang benar, tidak ada yang tahu, karena diluar
jangkauan observasi dan empirical experiment. Tapi
bagaimana kalau orang benar2 butuh akan informasi ini?
Ia melihat banyak orang mati, dan ia ingin tahu akan
ada apa setelah mati. Ia menjadi stress dan kuatir
akan apa yang terjadi setelah mati. Agama, yang
mengklaim berdasarkan wahyu dari Tuhan pencipta
manusia, pun mulai dilirik.
Masalah etika/moral pun demikian halnya. Di mana
manusia sudah kecapaian berenang mengarungi lautan
perdebatan konsep filsafat yang berbeda2 yang tidak
jelas juga mana yang bisa dijamin kebenarannya, pada
akhirnya agama pulalah yang diliriknya.
Menurut saya, sumber pengetahuan manusia ada tiga:
reason, observation & revelation. Reason (akal) dan
observation (panca indera) dapat dipakai dalam
memahami beberapa hal yang memang bisa dijelajahi
saja, sedang revelation datang untuk menjelaskan hal2
yang tidak bisa dijelajahi lagi.
Wa minannasi mayyujadillu fillah bi ghairi 'ilm, wa la
hudan, wa la kitabimmunir... (22:8)
2. Dilihat dari sudut pandang Islam
Dalam Islam (jelas2 disebutkan dalam Al Qur'an), Tuhan
pencipta manusia dan alam semesta tidak serta merta
meninggalkan manusia setelah menciptakannya tanpa
memberikannya guidance/petunjuk bagaimana cara
mengarungi kehidupannya di muka bumi, baik secara
individu maupun bermasyarakat, dari masa ke masa.
Islam itu mengatur hablumminallah dan hablumminannas.
Bukan hanya level individu tapi juga level masyarakat.
Kalau menurut saya, teori bung Ulil dalam awal thread
tentang private and public implementation of Islam,
didasarkan pada asumsi bahwa kalau semua (mayoritas)
individual sudah menjalankan ajaran Islam dalam
kehidupannya, maka otomatis secara demokratis ajaran
Islam akan terterapkan dalam komunitas tsb. Tapi
konsekwensi lainnya, kalau mayoritas individualnya
mengabandon nilai2 Islam dan lebih prefer kepada
nilai2 yang melanggar ajaran Islam (contohnya banyak
dari hal2 kecil sampai hal2 besar seperti free sex,
drugs, crimes, anarchy, etc.), maka secara demokratis
(suara terbanyak yang menang), komunitas tsb akan
menerapkan nilai2 yang lebih mereka prefer ini. Akan
terbentuklah law/undang2 yang memprotek nilai2 ini
dalam prakteknya di kehidupan sehari2. Bisa jadi pihak
minoritas yang tidak setuju dengan law tsb akan dicap
rebel dan kriminal.
Dibaca dari argumentasinya, menurut saya, bung Ulil
melihat sebagian ajaran Islam hanya diperuntukkan oleh
orang2 zaman dahulu kala saja (di zaman Nabi SAW)
tidak untuk zaman modern ini, sehingga boleh dibuang
atau bahkan HARUS dibuang untuk memaintain order in
the society. Saya ingin tahu dari mana dasarnya bahwa
ajaran2 Islam itu ada yang bisa dibuang dan tidak
berlaku lagi hukumnya saat ini (tidak termasuk ayat2
yang sudah dinasakh hukumnya). Kalau memang patokannya
adalah kesesuaian feeling dengan trend di zaman modern
ini, apakah nanti kalau homosexual, adultery,
cheating, anarchy, menjadi acceptable norms of
behavior di masyarakat, Islam harus disesuaikan pula
dengan norms ini? Apakah ada dalil2nya dalam sumber
hukum Islam bahwa ajaran2 Islam itu sebagiannya bisa
dibuang/dimodifikasi sesuai zaman? Ajaran2 yang mana
saja itu?
Kalau menurut saya, sebenarnya inti permasalahannya
(ketidakenakkan perasaan yang berlanjut ke dalam
diskusi panjang ini) berkisar kepada pemaksaan
penafsiran terhadap beberapa ajaran Islam yang
cabang/furu' yang dijadikan absolute dan ditempatkan
pada prioritas teratas dalam suatu masyarakat/
komunitas Muslim yang plural, meskipun jelas2 ada
perbedaan pendapat dan penafsiran di kalangan ulama
dalam Islam terhadap hal tsb. Mereka yang tidak sama
penafsirannya dengan mereka yang berkuasa akan dicap
munafik, atau bahkan kafir, tanpa ada usaha
mendiskusikannya secara terbuka sehingga tahu segala
duduk permasalahannya dan perbedaan sudut
memandangnya, serta dengan lapang dada memahami
perbedaan yang ada.
Sedangkan pemaksaan penafsiran ini saya rasa tidak
menyinggung hal2 yang sudah qath'i atau jelas hukumnya
yang tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya, seperti
haramnya berzina, haramnya mencuri, haramnya meminum
memabukkan, haramnya menzalimi diri sendiri dan orang
lain, dst, yang jelas2 digariskan dalam sumber hukum
Islam. Apakah hukum2 yang qath'i ini bisa dimodifikasi
dan dibuang dengan dasar feeling seseorang ataupun
sebagian orang di zaman modern ini? Mungkin ada
baiknya kita balik ke square one lagi...
Wallahu'alam.
No comments:
Post a Comment