Monday, August 17, 2009

Kritik terhadap Shahih Bukhari?

Saya kurang sependapat dengan Dr.Muhibbin yang menulis buku ""Kritik keshahihan kitab shahih Bukhari" berdasarkan disertasi doktoral beliau di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kalau tidak salah buku Dr.Muhibbin ini pernah dibahas dalam acara bedah buku beberapa tahun yg lalu oleh beberapa scholars ahli hadits pula di Indonesia. Mungkin ada yg tahu?

Beberapa referensi yg beliau tulis di bawah mengenai adanya tulisan2 scholars yg meragukan keshahihan hadits Bukhari sebagian telah dijawab dengan rinci oleh scholars lainnya. Misalnya tuduhan bahwa Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha termasuk mereka yg meragukan keshahihan hadits kumpulan Imam Bukhari telah dibantah oleh Prof.Dr.M.M.Azami dan Prof.Dr.Mustafa Al-Sibai. Dalam buku "As-Sunnah wa makanatuha fi al-tasyri' al-Islami" (buku terjemahan Indonesianya: "Bagaimana kedudukan Sunnah dalam Islam"), As-Sibai juga membantah argument2 yg ditulis Ahmad Amin yg ditulis dalam "Fajr Al-Islam". Argument2 Syekh Muhammad Al-Ghazali juga telah dibahas dan dijawab oleh Syekh Yusuf Qardhawi dalam buku beliau "Kaifa nata'mal ma'as sunnah an-nabawiyah" (buku terjemahan Indonesianya: "Bagaimana bersikap terhadap sunnah Nabi". KH.Ali Mustafa Yaqub (Imam Masjid Istiqlal) juga telah banyak menulis mengenai hal ini dalam buku2 beliau, salah satunya "Kritik Hadits".

Pendapat mengenai hadits2 shahih yg dinilai lemah/palsu a priori karena dianggap bertentangan dengan Al Qur'an seperti hadits mengenai "disiksanya" orang yg telah meninggal akibat ratapan keluarganya, menurut saya harus dilihat possibilities cara memandangnya/interpretasinya, jangan langsung saja dicap bertentangan. It's possible, maksud hadits tsb adalah orang2 yg memang sengaja meminta diratapi oleh keluarganya sepeninggalnya, atau bisa jadi pula ruh orang yg telah meninggal merasakan kesedihan karena ratapan keluarganya yg sangat berlebihan sehingga terasa "tersiksa" perasaannya. Karena ini masalah ghaib, kita tidak bisa menebak2 tanpa adanya informasi dari Allah SWT melalui rasul-Nya.

Pendapat mengenai hadits2 shahih yg dinilai lemah/palsu a priori karena dianggap bersifat ramalan, menurut saya terlihat lemah argumentnya. Mengapa hadits yg meramalkan akan datangnya khulafa' rasyidin sepeninggal beliau dianggap palsu/lemah? Apakah Nabi SAW tidak mampu menerima informasi mengenai the future dari Allah SWT yg Maha Tahu akan semua events di past, present and future? Banyak hadits2 Nabi SAW yg meramalkan akan events selepas beliau dan bahkan di hari akherat nanti. Seperti berita terbunuhnya beberapa sahabat beliau, berita jatuhnya Konstatinopel, berita jatuhnya Rome, berita datangnya Dajjal/Anti-Christ, berita datangnya Nabi Isa AS, dst yg sifatnya masyhur dan mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang). Apakah ini semua tidak mungkin bagi seorang Nabi Allah? Salah satu ciri Nabi utusan Tuhan yg akan datang yg bisa dijumpai dalam kitab2 sebelum Islam adalah kemampuan Nabi tsb memberikan informasi ttg future yg terbukti kebenarannya. (e.g. Deuteronomy 18:18). Kata Nabi sendiri berasal dari kata naba'a yg berarti menyampaikan berita, termasuk di dalamnya berita mengenai future. Kata prophet dalam bahasa Inggris juga mengandung makna serupa yg berkaitan dengan kemampuan menyampaikan "prophecy" (informasi mengenai masa depan).

Mengenai standard "moralitas" yg dijadikan kriteria untuk menilai lemah/palsu suatu hadits, adalah juga saya lihat lemah argumentnya. Apakah karena Nabi dikatakan berpoligami dalam suatu hadits, lalu hadits tsb tidak bisa kita terima karena standard moralitas kita tidak menyetujui poligami? Lalu berapa banyak hadits yg kita bilang lemah/palsu karena Nabi berpoligami, melakukan peperangan melawan musuh2nya, menjatuhi hukuman2 terhadap kriminal, dlsb.

Hadits sebagaimana layaknya historical records adalah sumber berita mengenai sesuatu di masa lalu. Saya lihat argument orang2 yg meragukan hadits biasanya terlihat tidak konsisten. Mereka meragukan hadits dengan berargumentasi menggunakan hadits. Mereka bilang sejarah membuktikan hadits itu tidak reliable dengan mengutip hadits sebagai sumber sejarah yg mereka klaim ini. Ini namanya fallacy of using circular argument. Kalau hadits tidak bisa dipercaya, please use other historical records selain hadits yg bisa dipercaya yg berbicara tentang sejarah masa lampau.

Dulu saya pernah berdebat dgn orang2 inkar sunnah. Ketika saya tanya mereka, dari mana mereka tahu adanya Nabi Muhammad SAW yg lahir di Makkah 14 abad yg lalu, yg menerima wahyu Tuhan yg dikumpulkan di dalam Al Qur'an, yg tidak berubah isinya dari masa ke masa sampai sekarang ini...mereka bilang dari sejarah. Ketika saya tanya dari mana sumber sejarah mereka, mereka bilang dari buku2 tarikh. Ketika ditanya dari mana sumber buku2 tarikh ini kalau bukan dari hadits/narration, mereka diam.

Hadits sebagaimana layaknya historical record bisa dianalisa sumbernya (sanad) dan contentnya (matan). Keshahihan sanad belum tentu berkorelasi dengan keshahihan matan. Studi mengenai matan hadits ini bisa dibaca dalam banyak buku kritik hadits, seperti yg ditulis oleh Mustafa Assibai, Yusuf Qardhawi, Ali Mustafa Yaqub, dll. Banyak metode dan analisa yg digunakan para hadith scholars untuk menganalisa matan hadits, seperti metode tarjih, asbabul wurud, illat, analisa lafazh, majaz/allegorical, dst. Point yg biasanya ditekankan adalah jangan terburu2/gegabah mengklaim hadits tidak percaya tanpa belum adanya usaha sungguh2 untuk menganalisanya.

Ceramah Dr.Jonathan Brown dari Univ of Washington di bawah ini saya rasakan bermanfaat untuk memahami topik ini:
https://www.youtube.com/watch?v=kZlEtV0rDPA

Tolong dikoreksi bila ada yg salah...

Wallahu'alam.

No comments: